TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG KE "PRO EDUKASI"

10 Desember 2024

GUGUR GUNUNG DI HGN

Oleh: Yuliyanto 



Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas secara mendalam tentang gugur gunung. Judul ini saya ambil dari salah satu gendhing lancaran yang ditampilkan oleh kelompok karawitan MKKS SMP Kabupaten Magelang. Istilah gugur gunung sendiri berasal dari kata dalam masyarakat Jawa yang berarti kerja secara bersamaan tanpa imbalan apapun. Hal ini sangat sesuai dengan penampilan karawitan MKKS SMP Kabupaten Magelang pada puncak acara peringatan HUT PGRI dan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang beberapa waktu yang lalu.

 

Penampilan grup karawitan tersebut hanya disiapkan dalam waktu kurang lebih 2 (dua) bulan dengan semua personil yang sama sekali tidak memiliki bekal tentang seni tersebut. 


Hal inilah yang membuat ketua MKKS menyampaikan kalimat, “nyuwun pangapunten jane menika dereng wayahe pentas …” (mohon maaf sebenarnya ini belum waktunya pentas), sebagai pengantar sebelum grup karawitan menampilkan gendhing pertama yang telah disiapkan, gugur gunung


Candaan ketua MKKS dilanjut dengan menyebut beberapa personil untuk mencairkan suasana anggota grup yang nampaknya dijalari demam panggung.

 

Dengan gaya dan logatnya yang khas sang ketua menyampaikan, “niku sik nylenthem niku nggih namung modal brengos kandel mawon” (itu yang memegang slenthem juga cuma modal kumis tebal saja). 


Dilanjutkan kalimat, “niku komandhane mangkih nek kleru nggih pancen nembe ngaten menika sagetipun” (itu komandannya kalau salah ya memang baru seperti itu bisanya), yang ditujukan untuk personil yang memegang kendhang. 


Prolog sang ketua ditutup dengan kalimat, “pokoke niki boten pentas nggih, namung pindah latihan mawon, nek onten klerune nggih teko damel lucu-lucuan mawon” (pokoknya ini bukan pentas ya, cuma pindah tempat latihan saja, kalau ada kesalahannya anggap saja sebagai lelucon saja).

 

Sesaat kemudian mulailah suara gamelan mengalun mengiringi gendhing pertama, lancaran gugur gunung, dilanjutkan ketawang ibu pertiwi, kemudian ojo dipleroki, dan ditutup dengan prau layar. Penyajian gendhing tersebut terurut sesuai dengan waktu mempelajarinya. Gendhing pertama relatif lancar dan kompak, tetapi pada gendhing kedua sejak mulai buka sudah terjadi sedikit kesalahan dan ini berpengaruh hingga akhir gendhing disajikan, tetapi dari segi pukulan terhadap alat masih cukup berani dan percaya diri. Pada gendhing ketiga dan keempat nampak kurang greng karena terasa ada beberapa gamelan yang tidak dithuthuk secara optimal, dikarenakan personil yang memegangnya merasa sedikit kurang percaya diri, kawatir salah.



Sumber: Koleksi Pribadi

 

Terlepas dari berbagai kekurangan tersebut, patut diapresiasi keberanian semua personil anggota karawitan, yang semuanya kepala sekolah SMP, dan tidak memiliki modal pengetahuan cukup tentang karawitan. 


Saat selesai gladi bersih mencoba alat pada siang harinya, bahkan seorang personil karawitan yang akan mengiringi sajian wayang kulit malam harinya berkomentar, “boten napa-napa, sae niku, kagem nyemangati sik enom-enom ben dho gelem nguri-uri kabudayaan” (tidak apa-apa, bagus, untuk memotivasi yang muda agar mau melestarikan budaya). 


Hal itu terlontar saat mendengar keluh kesah beberapa personil karawitan MKKS yang merasa masih melakukan kesalahan, baik dalam nuthuk gamelan maupun nembang.

 

Disamping keberanian juga perlu diapresiasi terkait dengan semangat untuk berlatih untuk bisa tampil memeriahkan peringatan HUT PGRI dan HGN, yang tidak lain adalah harinya mereka sendiri. Di tengah-tengah kesibukannya melaksanakan tupoksi sebagai kepala sekolah, masih menyempatkan diri setiap minggu sekali (belakangan menjadi seminggu dua kali saat mendekati hari pelaksanaan) untuk berkomitmen berlatih. Hal inilah yang mengeliminir berbagai kekurangan yang ada. Bahkan mereka menyatakan tidak malu dengan berbagai kekurangan tersebut, karena semua masih dalam proses belajar. 


Secara kelakar mereka mengatakan, “sik isin lak gurune, nek muride ki ra dho duwe isin” (yang malu kan gurunya, kalau muridnya gak punya malu). 


Tentu saja kalimat itu hanyalah kelakar untuk menghilangkan rasa grogi dan demam panggung. Kondisi yang sebenarnya semua personil sangat menghormati gurunya, Pak Narto (begitu biasa kita memanggil), yang juga seorang kepala sekolah salah satu SMP di Kabupaten Magelang.

 

Semangat belajar yang ditunjukkan oleh personil anggota karawitan tersebut menjadi sangat pas dengan ungkapan, “sebaik-baik guru adalah yang tidak pernah berhenti sebagai murid”, yang dapat dimaknai bahwa kita (guru) harus tetap dan terus belajar (dalam arti yang luas), dan sebaik-baik belajar adalah dengan mempraktikkannya. Tidak berlebihan jika hal itu menjadi salah satu upaya kecil yang nyata guru untuk menjadikan dirinya hebat dan bermutu, seperti tagline yang diusung dalam peringatan HUT PGRI dan HGN tahun 2024, “Guru hebat Indonesia kuat” dan “guru bermutu Indonesia maju”. Selamat …

INFO REDAKSI

Mulai saat ini, serial tulisan "Menjadi 'GOBLOK' Dalam Kesibukan" tayang juga di blog ini. Semua tulisan dalam serial ini diambil dari tulisan yang sama di catatan dan dinding facebook saya. Silahkan beri penilaian: Bermanfaat, Menarik, atau Menantang di bawah artikel yang sesuai. Bagi pengguna facebook masih tetap bisa membacanya melalui link: https://www.facebook.com/mr.yulitenan