TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG KE "PRO EDUKASI"

29 Oktober 2020

KETERAMPILAN ABAD 21 DI ABAD 20

Oleh: Yuliyanto


Abad merupakan sebuah istilah untuk menyebut rentang waktu yang lamanya seratus tahun. Saat ini kita berada di abad 21, mengapa demikian? Karena saat ini kita berada di tahun 2020 yang merupakan bagian dari rentang waktu antara tahun 2001 sampai 2100. Merujuk pada pengertian ini, berarti rentang waktu untuk abad 20 yaitu dari tahun 1901 hingga 2000.

Keterampilan abad 21 yang di Indonesia lebih akrab dikenal dengan 4K, yaitu kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif belakangan sangat gencar dikampanyekan. Merujuk pada beberapa referensi, kritis merupakan sebuah sikap yang sangat terbuka dan respek terhadap berbagai data dan pendapat. Kreatif berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu. Berikutnya komunikatif memuat makna berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Adapun kolaboratif, dapat dimaknai sebagai sebuah kemampuan seseorang untuk bekerja sama dengan orang lain.

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mengapa keterampilan tersebut dinamakan keterampilan abad 21? Atau mungkin juga, apakah di abad 20 atau abad-abad sebelumnya keterampilan tersebut belum ada? Menurut pendapat saya, semua keterampilan tersebut sudah ada dan dimiliki oleh generasi di abad 20 bahkan abad sebelumnya. Isitlah keterampilan abad 21 yang gencar dikampanyekan untuk menyebut keterampilan tersebut di abad 21 ini lebih dimaksudkan untuk membangkitkan keterampilan tersebut pada generasi muda saat ini agar mampu mengarungi kehidupannya di abad berikutnya.

Kata “membangkitkan” berasal dari kata “bangkit” yang dapat dimaknai sebagai “bangun atau hidup kembali”. Hal ini berarti bahwa keterampilan abad 21 tersebut sebenarnya sudah ada di abad 20, tetapi di abad 21 ini keberadaannya mulai berkurang atau bahkan hilang atau mati. Kecanggihan teknologi di abad 21 tidak bisa dipungkiri menyediakan sangat banyak kemudahan yang bisa berpotensi menurunkan keterampilan yang disebut sebagai keterampilan abad 21 itu sendiri. Mengapa demikian? Faktanya yang sering kita saksikan atau bakan kita alami, kecenderungan selalu memanfaatkan gadget dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan berpotensi menurunkan sikap dan perilaku kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.

Sumber: kemenpora.go.id

Slogan “Bersatu dan Bangkit” yang diusung pemerintah melalui Kemenpora dalam peringatan hari Sumpah Pemuda tahun 2020 ini, disamping sebagai pembangkit motivasi dalam gerakan masyarakat menghadapi situasi pandemi covid-19, juga menyiratkan adanya kondisi yang menurun pada keduanya. “Semangat persatuan tidak bisa ditawar lagi, harus bersatu dan bergotong royong.”, demikian disampaikan oleh Menpora dalam situs resminya (kemenpora.go.id) pada launching logo hari Sumpah Pemuda 2020. “Tanpa persatuan, kita tidak akan bisa, makanya harus bersatu lalu kita bangkit, demikian papar Menpora dalam situs yang sama.

Sebaik-baik cara memperingati hari bersejarah, termasuk di dalamnya Sumpah Pemuda, salah satunya adalah dengan melakukan refleksi dengan cermin peristiwa bersejarah tersebut. Seperti kita semua ketahui, bahwa Sumpah Pemuda lahir sebagai alat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal itu dilakukan dengan cara menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Walaupun peristiwa itu lahir di abad 20, namun hal tersebut tidak bisa dipungkiri merupakan contoh implementasi nyata keterampilan abad 21, yaitu kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.

Karakter kritis para pemuda Indonesia waktu itu ditunjukkan oleh sikapnya yang sangat respek terhadap situasi dan kondisi bangsa Indonesia untuk dapat keluar dari belenggu penjajahan. Hal itu membawa para pemuda Indonesia untuk berpikir mencari solusi, hingga akhirnya tercetus ide mengadakan Sumpah Pemuda. Bukankah ini sebuah gagasan yang kreatif dari para pemuda Indonesia di abad 20 waktu itu? Akhirnya pada Konggres Pemuda II yang diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928, seluruh pemuda bersepakat untuk bersatu dengan satu perasaan yang bangga sebagai bangsa Indonesia. Hal itu didasari oleh pemahaman yang sama bahwa, persatuan dengan tidak mengedapankan kepentingannya sendiri akan mempermudah melawan penjajah. Bukankah ini hasil dari kemampuan mereka dalam berkomunikasi dan berkolaborasi diantara para pemuda Indonesia pada waktu itu?

Kita yang saat ini masih berkesempatan mengikuti peringatan hari Sumpah Pemuda, bisa dikatakan tinggal menikmati hasil dari perjuangan para pemuda waktu itu. Oleh karenanya, seperti pesan Menpora di atas, mau tidak mau kita harus meneladani dan mengimplementasikan semangat dan perjuangan mereka dalam kehidupan saat ini dan yang akan datang. Generasi muda sebagai tulang punggung bangsa, harus mampu berpikir kritis untuk menghasilkan ide atau gagasan yang kreatif dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Kemampuan berkomunikasi dengan berbagai elemen dan komunitas mutlak dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan menurunnya rasa persatuan. Pun kemampuan bekerja sama dengan berbagai elemen dan komunitas harus terus dibangkitkan, agar seberat apa pun permasalahan yang dihadapi bisa terasa lebih ringan dalam penyelesaiannya.

25 Oktober 2020

BERJALAN MUNDUR UNTUK MAJU

Oleh: Yuliyanto


Albert Einstein, seorang ahli fisika dan matematika pernah menyampaikan nasehat bijak yang kurang lebih artinya kita harus belajar dari kemarin, hidup untuk hari ini, dan berharap untuk besok. Jika kita cermati nasehat tersebut berkaitan dengan fakta bahwa kita diberikan tiga waktu, yaitu kemarin, hari ini, dan besok. Kemarin merupakan waktu yang pernah kita lewati dan pasti tidak akan bisa kita ulangi, kecuali menjadikannya segala sesuatu yang baik pada waktu tersebut sebagai pengalaman untuk belajar. Hari ini merupakan waktu yang kita miliki dan bisa kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan besok merupakan waktu yang belum tentu kita dapat menikmati dan memanfaatkanya.

Judul tulisan ini terinspirasi oleh waktu yang sudah berlalu (kemarin) dengan berbagai pengalaman baik yang pernah dialami dan dapat kita manfaatkan sebagai pelajaran yang berharga untuk melangkah maju. Ada kalanya kita harus berjalan mundur beberapa langkah untuk bisa maju. Dalam penerapannya, konteks berjalan mundur ini sangat banyak sekali ragamnya. Melihat ke belakang melalui kaca spion saat kita berkendaraan, merupakan salah satu contoh dari konsep berjalan mundur ini. Kegiatan penilaian kinerja yang dilaksanakan saat ini tetapi untuk masa satu atau dua tahun yang lalu, merupakan contoh lain yang mengharuskan kita untuk berjalan mundur agar berhasil. Dalam konteks belajar pun dikenal sebuah strategi pemecahan masalah yang dikenal dengan work backward atau bekerja mundur.

Dalam belajar menulis, strategi berjalan mundur ini pun sangat tepat untuk dilakukan, terutama bagi para pemula, seperti saya. Mengapa demikian? Karena menulis sesuatu yang pernah kita alami relatif lebih mudah. Jadi, strategi berjalan mundur dalam konteks belajar menulis ini dimaknai sebagai strategi untuk memperlancar menuangkan hal-hal yang pernah kita alami dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan semacam ini dapat menjelma menjadi berbagai jenis dan tidak menutup kemungkinan akan bisa menjadi tulisan yang sangat bagus untuk dinikmati (dibaca). Jika kita menulisnya secara persis seperti apa yang kita alami, maka tulisan itu akan menjadi sebuah kisah nyata. Tetapi apabila kita menulisnya dengan dibumbui berbagai hal berdasarkan imajinasi kita, tulisan itu akan menjelma menjadi sebuah cerita fiksi yang hebat. Bahkan jika kita mengemasnya dengan aturan-aturan ilmiah, tulisan itu bisa menjadi sebuah karya ilmiah yang bisa dipublikasikan dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan bagi penulisnya.

Sumber: Koleksi pribadi

Selanjutnya kita akan fokus pada tulisan yang berkaitan dengan sesuatu yang pernah kita lakukan yang biasa dikenal dengan istilah best practice (praktik terbaik). Tulisan dalam kategori ini adalah tulisan yang berisi tentang pengalaman sesorang dalam mengatasi suatu permasalahan dengan cara yang efektif dan efisien dengan hasil yang luar biasa. Disamping efektif dan efisien, dalam beberapa referensi jenis tulisan ini memiliki beberapa karakteristik lain, yaitu: 1) bersifat inovatif; 2) membawa perubahan; 3) mengatasi permasalahan secara berkelanjutan; dan 4) menginspirasi orang lain. Much. Khoiri dalam bukunya “Writing is Selling” menyatakan bahwa, “Semua profesi memiliki best practice yang bisa dibagikan kepada masyarakat.” Ini berarti, jika kita memiliki kemauan yang kuat, pasti mampu menulis best practice yang bisa dibagikan sebagai bahan pelajaran.

Apabila Anda ingin menulis best practice itu dalam bentuk publikasi ilmiah, maka Anda harus menyesuaikannya dengan sistematika dan kaidah sebuah tulisan ilmiah. Merujuk beberapa referensi, sistematika ini pada umumnya meliputi empat bagian. Yang pertama, bagian awal, yang memuat halaman judul, lembar persetujuan, lembar pernyataan keaslian, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar lampiran, dan abstrak atau ringkasan. Berikutnya, bagian isi, terdiri dari pendahuluan, kajian/tinjauan pustaka, dan pembahasan masalah. Adapun bagian ketiga yaitu penutup, berisi simpulan dan saran, serta bagian keempat, penunjang yang berisi  daftar pustaka dan lampiran.

Dalam kondisi seperti itulah kita harus berjalan mundur. Mengapa demikian? Karena kita akan menulis sesuatu yang pernah kita lakukan pada beberapa waktu yang silam. Sangat mungkin ketika melaksanakan hal tersebut kita belum atau bahkan tidak mengawalinya secara tertulis tentang latar belakang, rumusan masalah dan tujuannya. Tetapi ketika kita harus menulisnya secara ilmiah, hal itu merupakan salah satu syarat yang wajib dipenuhi. Pun tentang kajian pustaka tertentu yang mendasari kita melakukan strategi atau cara dalam mengatasai permasalahan tersebut. Tetapi sekali lagi, ketika saat ini kita harus menulisnya dengan aturan ilmiah, hal itu menjadi salah satu syarat yang diwajibkan. Oleh karenanya kita harus mendeskripsikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan mengaitkannya antara strategi atau cara yang pernah kita lakukan dalam mengatasi masalah itu dengan teori pendukung yang relevan melalui kajian/tinjauan pustaka. Bukankah ini sebuah alur bekerja atau berjalan mundur?

Berjalan mundur seperti saya sampaikan di atas, dapat membawa kita kepada kemajuan atau peningkatan. Mengapa demikian? Jika Anda seprofesi dengan saya, sebagai guru, hasil tulisan tersebut dapat Anda manfaatkan sebagai salah satu kelengkapan usulan kenaikan pangkat dari komponen publikasi ilmiah dan karya inovasi (piki). Apabila usulan itu lolos, maka Anda akan naik pangkat dan golongannya setingkat di atasnya dari sekarang. Jika Anda melakukannya lagi seperti itu beberapa waktu berikutnya, Anda akan berpeluang naik setingkat lagi, demikian seterusnya. Tetapi apakah ini sebuah kewajiban? Jawabnya tidak, karena seperti saya sampaikan di atas, dengan tulisan itu Anda dapat memanfaatkannya untuk kelengkapan usul kenaikan pangkat. Kata “dapat” ini memuat makna bahwa Anda tidak wajib memanfaatkanya untuk keperluan tersebut.

Jadi, yang lebih penting dalam membuat tulisan seperti itu atau tulisan apa pun, upayakan menghindari tujuan pragmatis, seperti agar bisa naik pangkat dan sejenisnya. Karena jika demikian, hanya dua hal kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, apabila tidak lolos Anda akan sangat kecewa yang bisa mengakibatkan Anda akan berhenti menulis. Kedua, apabila lolos pun bisa berpeluang mengakibatkan rasa puas yang berlebihan, dan itu bisa berpotensi membuat kita lalai kemudian berhenti menulis karena tujuannya sudah tercapai. Cobalah berjalan mundur untuk maju sekarang juga, karena besok kita tidak akan tahu masih ada kesempatan untuk melakukannya atau tidak.

11 Oktober 2020

MENIKMATI HABITUASI BARU

Oleh: Yuliyanto


Gitar merupakan salah satu alat musik yang dulu pernah atau bahkan sering saya memainkannya. Tentu tidak sebaik orang-orang yang mendasarinya dengan ilmu melalui gurunya, karena saya hanya belajar melalui teman yang juga tidak berguru, saat tongkrong di pos. Entah apa yang mendorong hari ini saya mengambil gitar milik adik saya, dan mencoba memainkannya seperti dulu. Baru sebentar memainkan sudah terasa sakit ujung-ujung jemari ini. Mungkin hal ini karena kebiasaan seperti itu sudah sangat lama tidak dilakukan. Perlu proses habituasi ulang untuk membuat ujung-ujung jemari ini bertahan cukup lama dan tidak sakit saat memainkannya.

Sumber: Koleksi pribadi

Habituasi merupakan padanan dari kata pembiasaan, yang dapat dimaknai sebagai suatu proses yang dilakukan secara berulang agar menjadi terbiasa. Banyak hal dalam kehidupan kita yang harus ditanamkan melalui proses habituasi agar menjadi sebuah kebiasaan, dan pada tataran yang lebih tinggi menjadi sebuah budaya. Kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, mengenakan masker, dan menjaga jarak merupakan salah satu contoh hasil dari proses habituasi di era kehidupan baru ini.

Proses habituasi tidak jarang harus melalui sebuah pemaksaan, baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Belakangan sering kita saksikan sebuah kegiatan operasi masker yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Seseorang yang tertangkap tidak mengenakan masker pada saat operasi tersebut akan mendapatkan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini dilakukan untuk memberi efek jera kepada masyarakat, dengan tujuan untuk membiasakan mengenakan masker di saat bepergian. Ini merupakan salah satu contoh proses habituasi yang melalui sebuah pemaksaan.

Pada umumnya, habituasi ini merupakan sebuah proses yang kurang atau bahkan tidak menyenangkan. Baik dari kondisi ada menjadi tidak ada maupun sebaliknya, dari kondisi tidak ada menjadi ada, proses habituasi cenderung akan terasa kurang atau tidak menyenangkan bagi siapapun yang menjalaninya. Tetapi jika kita mampu menjalani dan menikmatinya dengan baik akan menjadi sesuatu yang sebaliknya, yaitu sangat menyenangkan. Ibarat obat, proses habituasi ini merupakan obat pelancar peredaran darah yang akan membuat tubuh kita menjadi nyaman semuanya.

Dalam hal berlatih menulis pun perlu proses habituasi tersebut. Pada kondisi tubuh sehat dan normal mungkin relatif lebih mudah untuk melakukannya sesuai dengan kesepakatan diri yang telah ditetapkan. Namun seumpama sebuah kendaraan, kadang tubuh kita juga mengalami gangguan pada onderdil tertentu yang mengharuskan kita memperbaikinya di bengkel. Dalam kondisi ini bisa mengakibatkan kendaraan kita tidak bisa difungsikan seperti biasa, setidaknya hingga proses perbaikan selesai. Pun dengan tubuh kita, sehingga harus istirahat sejenak untuk memulihkan kondisi agar bisa kembali memenuhi kesepakatan mendidik diri agar bisa menulis.

Kondisi tubuh yang kurang atau tidak normal sangat berpengaruh terhadap jalannya proses habituasi menulis. Habituasi lain untuk mengembalikan kondisi tubuh menjadi hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan. Hal ini tentu bisa berdampak kita berhenti dalam waktu relatif lama dari proses habituasi menulis. Tentu hal ini juga akan bisa membawa dampak terhadap sensitifitas dalam menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan. Setidaknya hal tersebut yang saat ini sedang saya rasakan. Hasrat untuk kembali bisa menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan tetap terjaga, namun sensitifitas terasa mengalami penurunan.

Perlu sebuah perjuangan dari dalam diri untuk mengembalikan sensitifitas tersebut. Tidak mudah memang, tetapi harus terus dan tetap diupayakan agar tidak semakin menghilang. Tulisan ini menjadi yang pertama setelah beberapa waktu saya tidak melakukannya, karena harus menikmati habituasi baru lainnya. Terasa agak sulit dan kurang mengalir kalimat-kalimatnya, tetapi saya mencoba memaksa diri ini untuk terus melanjutkannya agar secara perlahan sensitifitas tersebut bisa kembali. Dengan demikian akan melancarkan aliran ide-ide untuk dituangkan dalam bentuk tulisan, seperti lancarnya peredaran darah setelah memakan obat pelancar peredaran darah, dengan menikmati habituasi baru ini.

02 Oktober 2020

FAKTA TENTANG BILANGAN PRIMA

 Oleh: Yuliyanto


Bilangan N = 49.725 menyatakan usia sekelompok remaja yang dikalikan. Berapa banyak remaja dan berapa usia mereka? Jelaskan bagaimana Anda menemukan jawaban tersebut.

Kita perlu belajar banyak mengenai pemfaktoran bilangan bulat untuk menyelesaikan permasalahan di atas. Bagaimana kita bisa mengetahui banyak remaja dalam kelompok itu? Apakah hasilnya merupakan bilangan prima?  Selama proses menyelesaikan, kita perlu mengembangkan ide intuitif tentang beberapa sifat bilangan prima yang akan kita bahas lebih lanjut di bagian ini.

Topik yang sangat penting dalam materi ini adalah konsep bilangan prima. Sebuah bilangan bulat N yang lebih dari 1 merupakan bilangan prima apabila satu-satunya cara menyatakan pemfaktorannya adalah 1 x N. Sebagai contoh, 2 merupakan bilangan prima karena satu-satunya cara memfaktorkan bilangan itu adalah 1 x 2. (Kita anggap faktorisasi 2 x 1 sebagai faktorisasi yang sama, walaupun urutannya berbeda). Demikian pula, 3 merupakan bilangan prima. Perhatikan bahwa bilangan prima merupakan bilangan yang lebih besar dari 1.

Bilangan bulat lebih dari 1 yang bukan prima disebut bilangan komposit. Ini berarti bahwa bilangan bulat tersebut dapat difaktorkan menjadi dua atau lebih bilangan prima. Sebagai contoh, 9 merupakan bilangan komposit, karena dapat difaktorkan menjadi 3 x 3. Demikian pula 14 juga merupakan bilangan komposit, karena dapat difaktorkan menjadi 2 x 7. Dalam menemukan faktor persekutuan terbesar (FPB) dari beberapa bilangan, seringkali kita harus memfaktorkan bilangan-bilangan itu ke dalam faktor-faktor primanya. Kita akan membahasnya lebih banyak nanti. Sebagai contoh, 36 = 4 x 9 = 2 x 2 x 3 x 3. Meskipun tampak jelas bahwa setiap bilangan komposit dapat difaktorkan ke dalam faktor-faktor primanya, kita harus benar-benar meyakininya.

Untuk keperluan tersebut, perhatikan teorema yang mengatakan bahwa, “Setiap bilangan komposit N dapat difaktorkan ke dalam faktor prima”. Bukti dari teorema ini cukup mudah. Ingat bahwa bilangan asli, meliputi 1, 2, 3, ... . Selanjutnya, jika N bilangan komposit, maka N dapat difaktorkan menjadi dua bilangan asli yang lebih kecil, a dan b. Jika keduanya prima, selesailah bukti kita. Jika tidak, maka setiap faktor komposit dapat difaktorkan dalam bilangan asli yang lebih kecil. Jika bilangan-bilangan asli yang lebih kecil itu semuanya prima, selesailah pembuktian kita. Jika tidak, setiap faktor komposit dapat difaktorkan menjadi bilangan asli yang lebih kecil. Kata kunci dalam pembuktian ini yaitu “lebih kecil”. Kita tidak mungkin terus memfaktorkan tanpa batas, karena setiap kali kita memfaktorkan, kita peroleh faktor bilangan asli yang lebih kecil, dan banyak bilangan asli yang lebih kecil dari N itu berhingga. Jadi, prosesnya harus diakhiri setelah kita tidak dapat menemukan lagi faktor bilangan asli yang lebih kecil. Pada kondisi tersebut setiap bilangan dalam faktorisasi N merupakan bilangan prima.

Teorema di atas membawa akibat, yaitu “Setiap bilangan bulat N > 1 dapat merupakan bilangan prima atau dapat difaktorkan menjadi bilangan prima”. Kita mulai pembuktian ini dengan mengingat bahwa salah satu kemungkinan dari N yaitu merupakan bilangan prima atau komposit. Jika bilangan prima, selesai pembuktian kita. Jika komposit, maka berdasarkan teorema sebelumnya dapat difaktorkan menjadi bilangan-bilangan prima.

Teorema di atas kelihatannya seperti biasa. Tetapi faktanya setiap bilangan dapat difaktorkan menjadi bilangan prima, dan hal ini bisa menjadi sangat sulit apabila bilangannya sangat besar. Padahal fakta inilah yang menjadi dasar keamanan nasional. Banyak rahasia negara yang dienkripsi (seperti nomor kartu kredit dalam transaksi online) menggunakan skema yang hanya dapat dipecahkan jika faktor prima dari bilangan besar tertentu dapat ditemukan. Masalahnya, bilangan-bilangan itu sangat besar (terdiri dari beberapa ratus digit), dan untuk menemukan faktor-faktor primanya, bahkan menggunakan komputer canggih pun bisa memakan waktu puluhan tahun. Jadi, untuk saat ini, atau sampai ada orang yang bisa menemukan cara cepat untuk memfaktorkan bilangan sepeti itu menjadi bilangan prima, semua akan aman. Skema enkripsi ini merupakan penerapan bilangan prima yang menarik, dan kita akan membahasnya lebih lanjut di bagian ini.

Teorema berikutnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu “Jika bilangan prima p habis membagi hasil kali ab, maka bilangan prima p harus membagi a atau b”. Anda mungkin berpikiran bahwa hal ini sudah jelas. Kita hanya memfaktorkan a dan b menjadi bilangan prima, dan jika p membagi hasil kali bilangan-bilangan prima itu, maka itu salah satunya. Masalah sebenarnya yaitu kemungkinan terdapat lebih dari satu cara memfaktorkan bilangan menjadi bilangan prima, dan salah satu diantaranya mungkin tidak melibatkan bilangan prima p. Ini merupakan masalah yang hampir tidak kelihatan, dan setelah kita bahas di akhir bagian nanti, kita akan mengetahui bukti teorema ini.

Perhatikan kata “prima” dalam teorema tersebut. Akan menjadi tidak benar hasilnya apabila kata “prima” itu dihilangkan. Sebagai contoh, 18 dapat difaktorkan menjadi 2 dan 9, dan bilangan komposit 6 habis membagi 2 x 9. Tetapi bilangan komposit 6 tidak habis membagi 2 atau 9.

Teorema tersebut sering digunakan dalam pembuktian. Sebagai contoh, jika diketahui bahwa 3 habis membagi beberapa bilangan (p2 + 1)((q – 2) dan diketahui bilangan itu tidak habis membagi bilangan pertama p2 + 1, maka bilangan itu harus membagi bilangan kedua q – 2, karena 3 meruakan bilangan prima.

Jika kita membuat daftar bilangan prima secara berurutan, kita miliki: 2, 3, 5, 7, 11, 13, 19, dan seterusnya, tampak tidak terdapat beda yang khusus diantara bilangan prima yang berurutan. Sebagai contoh, 2 dan 3 memiliki beda 1, 3 dan 5 memiliki beda 2, 5 dan 7 memiliki beda 2, 7 dan 11 memiliki beda 4. Hal yang wajar muncul pertanyaan, seberapa besar selisish atau beda antara dua bilangan prima berurutan? Mungkinkah beda antara dua bilangan prima berurutan 10.000? Dengan kata lain dapatkah kita menemukan 10.000 bilangan bulat berurutan yang merupakan bilangan komposit, atau harus prima dalam daftar 10.000 bilangan berurutan? Secara mengejutkan, jawabannya adalah kita dapat menemukan 10.000 bilangan berurutan yang merupakan bilangan komposit. Kenyataannya, hal itu dapat kita tunjukkan kepada Anda. Bilangan-bilangan itu adalah (10.001)! + 2, (10.001)! + 3, (10.001)! + 4 + ... + (10.001)! + 10.001. Ingat kembali bahwa 10.001! merupakan perkalian semua bilangan bulat dari 1 sampai 10.001. Kata kunci untuk membuktikan bahwa itu semua bilangan komposit adalah bahwa 10.001! habis dibagi berturut-turut oleh 2, 3, 4, dan seterusnya hingga 10.001. Sehingga, bilangan pertama, yaitu (10.001)! + 2 merupakan penjumlahan dua bilangan yang habis dibagi 2, oleh karenanya bilangan itu juga habis dibagi 2. Bilangan kedua, (10.001!) + 3 merupakan penjumlahan penjumlahan dua bilangan yang masing-masing habis dibagi 3, sehingga bilangan itu juga habis dibagi 3. Dengan cara yang sama, bilangan berikutnya merupakan penjumlahan dua bilangan yang masing-masing habis dibagi 4. Oleh karenanya bilangan itu juga habis dibagi 4. Demikian seterusnya, dan kita melihat bahwa masing-masing dari 10.000 bilangan dalam kumpulan bilangan tersebut merupakan bilangan komposit.

Teorema yang mendukung uraian terakhir yaitu “Jika N merupakan bilangan bulat positif, terdapat deretan N bilangan komposit berurutan”. Untuk membuktikannya, perhatikan N buah bilangan, (N + 1)! + 2, (N + 1)! + 3, (N + 1)! + 4, ..., (N + 1)! + (N + 1). Mengingat bahwa (N + 1)! dapat dibagi oleh semua bilangan bulat dari 2 hingga N + 1, dan dengan menggunakan argumentasi yang sama pada uraian sebelumnya, kita ketahui bahwa masing-masing merupakan  bilangan komposit. Artinya, bilangan pertama merupakan bilangan komposit karena merupakan penjumlahan dua bilangan yang masing-masing habis dibagi 2. Bilangan kedua merupakan bilangan komposit karena merupakan penjumlahan dua bilangan yang masing-masing habis dibagi 3, demikian seterusnya.

Dengan demikian, kita dapat menemukan satu juta, satu milyar, atau bahkan satu trilyun bilangan berurutan dengan tidak terdapat bilangan prima di dalamnya. Hal ini seperti menunjukkan bahwa bilangan prima menjadi semakin langka, dan mungkin hanya terdapat sejumlah bilangan prima yang terbatas. Dan bahkan jika banyak bilangan prima berhingga, bagaimana mungkin membuktikannya? Terdapat tak terhingga banyak bilangan prima, seperti kita ketahui, dan Euclid membuktikannya dengan cara berikut. Bukti ini tentu diperhitungkan sebagai salah satu dari bukti paling efisien, cerdik,dan elegan dalam matematika.

Menggunakan bukti dengan kontradiksi, andaikan banyak bilangan prima berhingga. Kita sebut bilangan-bilangan tersebut p1, p2, p3, ..., pL, dengan pL merupakan bilangan prima terakhir. Selanjutnya bentuklah bilangan seperti berikut.

                              N = p1.p2.p3...pL + 1

Berdasarkan uraian sebelumnya kita tahu bahwa bilangan N dapat merupakan bilangan prima atau dapat difaktorkan menjadi bilangan prima, dan dalam kasus terakhir berarti memiliki faktor prima, p. Bilangan N tidak mungkin merupakan bilanga prima, karena lebih besar dari pL yang merupakan bilangan prima terbesar. Jadi, haruslah N dapat difaktorkan menjadi bilangan prima yang memiliki faktor prima p. Tetapi p harus merupakan salah satu bilangan prima pada perkalian p1.p2.p3...pL karena ini kita andaikan sebagai daftar semua faktor prima. Dengan demikian, p1.p2.p3...pL habis dibagi p.

Selanjutnya, karena N habis dibagi p, demikian pula dengan p1.p2.p3...pL, maka selisihnya, yaitu N - p1.p2.p3...pL juga habis dibagi p. Tetapi dari N = p1.p2.p3...pL + 1 dapat kita ketahui bahwa N - p1.p2.p3...pL = 1. Ini berarti 1 habis dibagi p. Bagaimana ini bisa terjadi karena bilangan prima p lebih dari 1? Pengandaian bahwa banyak bilangan prima beringga mengakibatkan kontradiksi bahwa p harus membagi 1. Pengandaian salah, jadi haruslah banyak bilangan prima itu tak berhingga.

Sekarang kita kembali ke bukti teorema, bahwa “Jika bilangan prima p habis membagi hasil kali ab, maka bilangan prima p harus membagi a atau b”, yang kita janjikan di awal. Tetapi sebelumnya kita harus membuktikan sesuatu yang berkaitan. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa ketika kita memfaktorkan sebuah bilangan prima, faktorisasinya adalah unik. Hal ini setara dengan “Jika terdapat bilangan terkecil N yang dapat difaktorkan menjadi bilangan prima dengan dua cara berbeda, maka bilangan prima apapun dalam faktorisasi N tidak akan terdapat pada faktorisasi N lainnya”.

Kita akan membuktikannya dengan kontradiksi. Ingat bahwa kita misalkan N mewakili bilangan terkecil yang dapat difaktorkan menjadi bilangan prima dengan dua cara berbeda. Misalkan dua cara pemfaktoran dari N adalah N = p1p2 ... pn dan N = q1q2 ... qk dan anggaplah kedua faktorisasi dari N itu memiliki faktor prima yang sama, yaitu p1. Selanjutnya kita atur bilangan prima dalam faktorisasi N sedemikian hingga p1 pada urutan pertama. Ini berarti, kita dapat mengasumsikan bahwa p1 = q1. Jadi, N = p1p2 ... pn dan N = p1q2 ... qk. Bagilah masing-masing dengan p1 sehingga diperoleh N/p1 = p2 ... pn dan N/p1 = q2 ... qk. Ini menunjukkan bahwa bilangan N/p1 dapat difaktorkan dengan dua cara berbeda, yaitu p2 ... pn dan q2 ... qk. Tetapi bilangan ini lebih kecil dari N, dan ini bertentangan dengan fakta bahwa N merupakan bilangan terkecil yang dapat difaktorkan dengan dua cara berbeda. Kontradiksi ini muncul akibat pengandaian bahwa N dapat difaktorkan dengan dua cara berbeda dengan faktor prima yang sama. Ini menunjukkan bahwa, jika terdapat bilangan terkecil yang dapat difaktorkan dengan dua cara berbeda, keduanya tidak dapat memiliki faktor yang sama.

Teorema berikutnya, bahwa “Sebarang bilangan asli yang lebih dari 1 dapat difatorkan menjadi bilangan prima hanya dengan satu cara (mengabaikan urutan penulisannya)”. Kembali kita gunakan kontradiksi dalam pembuktian ini, dan andaikan tidak demikian adanya. Ini berarti, terdapat beberapa bilangan asli yang tidak dapat difaktorkan hanya dengan satu cara. Sehingga harus ada bilangan asli terkecil yang tidak dapat difaktorkan menjadi bilangan prima hanya dengan satu cara, misalkan bilangan itu N. Berdasarkan uraian sebelumnya kita tahu bahwa N memiliki dua faktorisasi yang berbeda, yaitu misalkan N = p1p2 ... pn dan N = q1q2 ... qk dengan tidak ada p dan q yang sama. Dengan demikian p1 ¹ q1 dan misalkan p1 < q1. Kita akan membangun bilangan P yang lebih kecil dari N dengan dua faktorisasi berbeda, dan ini akan bertentangan dengan fakta bahwa N adalah bilangan terkecil.

Tetapkan P = (q1p1)q2 ... qk.

Pertama kita amati bahwa (q1p1) < q1. Selanjutnya kalikan kedua ruas pertidaksamaan dengan q2 ... qk tuntuk memperoleh:

(q1p1)q2 ... qk < q1q2 ... qk.

Karena (q1p1)q2 ... qk = P dan q1q2 ... qk = N, maka kita peroleh P = N.

Sampai di sini kita telah menunjukkan bahwa P < N. Sekarang kita akan menunjukkan bahwa P memiliki dua faktorisasi yang berbeda.

Faktorisasi pertama dari P seperti dinyatakan sebelumnya, yaitu P = (q1p1)q2 ... qk. Semua faktor dari q merupakan bilangan prima dan tidak ada satupun diantaranya p1, tetapi q1p1 mungkin bukan prima dan memiliki faktor p1. Jika q1p1 memiliki faktor p1, maka:

q1p1 = kp1

untuk suatu bilangan k, dan dengan menyelesaikannya untuk q1 diperoleh:

q1 = kp1 + p1 = (k + 1)p1.

Hal itu berarti q1 merupakan kelipatan dari bilangan prima p1. Tetapi ini merupakan hal yang tidak mungkin, karena q1 merupakan bilangan prima yang hanya memiliki faktor 1 dan dirinya sendiri. Jadi, faktorisasi P = (q1p1)q2 ... qk tidak memuat p1.

Selanjutnya kita cari faktorisasi P yang memuat p1. Berdasarkan hal ini dan mengingat bahwa faktorisasi P = (q1p1)q2 ... qk tidak memuat p1, akan memberikan kepada kita bahwa terdapat dua faktorisasi dari P yang merupakan kontradiksi yang kita cari. Kita mulai dengan menjabarkan persamaan,

P   = (q1p1)q2 ... qk

      = q1q2 ... qkp1q2 ... qk

      = Np1q2 ... qk (di awal kita tahu bahwa N = q1q2 ... qk)

      = p1p2 ... pkp1q2 ... qk (p1p2 ... pk merupakan faktorisasi lain dari N)

      = p1(p2 ... pkq2 ... qk)

Faktorisasi terakhir menunjukkan bahwa faktorisasi dari P memuat p1.

Sekarang mari kita rangkum. Di awal kita ambil bilangan terkecil N yang tidak memiliki faktorisasi unik, dan menghasilkan bilangan P yang lebih kecil yang tidak memiliki faktorisasi unik. Salah satu faktorisasi dari P = p1(p2 ... pkq2 ... qk) memuat faktor p1. Faktorisasi lainnya dari P = (q1p1)q2 ... qk tidak memuat faktor p1. Ini bertentangan dengan fakta bahwa N merupakan bilangan terkecil yang tidak memiliki faktorisasi unik. Kontradiksi ini muncul akibat dari asumsi bahwa ada beberapa bilangan yang tidak memiliki faktorisasi unik. Jadi, asumsi salah, dan ini menunjukkan bahwa semua bilangan asli lebih dari 1 dapat difaktorkan menjadi bilangan prima dengan cara yang unik.

Salah satu contoh penggunaan teorema terakhir adalah pada soal berikut: “Tunjukkan bahwa 2log 3 irasional”. Kita lakukan pembuktian ini dengan kontradiksi. Misalkan 2log 3 rasional, sehingga 2log 3 = a/b dengan a dan b bilangan bulat positif. Ini berarti bahwa 2a/b = 3 Selanjutnya pangkatkan kedua ruas dengan b untuk memperoleh 2a = 3b. Misalkan N2a = 3b. Ini berarti bilangan N dapat dinyatakan sebagai perkalian bilangan prima dengan dua cara berbeda. Faktorisasi pertama adalah perkalian dari 2, dan yang kedua adalah perkalian dari 3. Ini bertentangan dengan teorema 6, sehingga pengandaian bahwa 2log 3 rasional salah. Jadi, 2log 3 adalah irasional.

Alternatif bukti lainnya, yaitu bahwa pada persamaan 2a = 3b, kita melihat kontradiksi, karena ruas kiri persamaan merupakan bilangan genap, sedangkan ruas kanan merupakan bilangan ganjil.

Sekarang kita dapat membuktikan teorema bahwa “Jika bilangan prima p habis membagi hasil kali ab, maka bilangan prima p harus membagi a atau b”. Jika p habis membagi ab, maka pk = ab untuk suatu bilangan bulat k. Faktorkan kedua ruas persamaan itu menjadi bilangan prima. Karena hanya terdapat satu cara memfaktorkan suatu bilangan menjadi bilangan prima, dan p merupakan faktor pada ruas kiri persamaan, maka p juga harus merupakan faktor pada ruas kanan. Ini berarti, p harus merupakan faktor dari a atau b, dan selesailah pembuktian kita.

Jika a dan b merupakan bilangan positif yang tidak memiliki faktor prima yang sama, kita katakan a dan b relatif prima. Jadi, 8 = 23 dan 27 = 33 adalah relatif prima, karena keduanya tidak memiliki faktor prima yang sama. Hal yang sama berlaku untuk 18 dan 35 karena 18 = 2 x 32 dan 35 = 5 x 7. Jika bilangan rasional a/dalam bentuk paling sederhana, maka a dan b relatif prima.

Teorema terakhir pada bagian ini, adalah “Jika a dan b relatif prima dan jika a membagi kb untuk suatu bilangan bulat k, maka a harus membagi k”. Jika a membagi kb, maka semua faktor prima dari a membagi kb. Tetapi karena a dan b tidak memiliki faktor persekutuan (relatif prima), maka semua faktor prima dari a harus membagi k. Dan jika semua faktor prima dari a membagi k, maka k memuat semua faktor prima dari a dan karena itu merupakan kelipatan dari a. Jadi, a membagi k.

 

Artikel diadaptasi dan dimodifikasi dari “Basics of Number Theory” dalam buku “The Mathematics That Every Secondary School  Math Teacher Needs To Know”, Second Edition, Alan Sutan dan Alice F., Routledge, 2018, halaman 41 – 46.

INFO REDAKSI

Mulai saat ini, serial tulisan "Menjadi 'GOBLOK' Dalam Kesibukan" tayang juga di blog ini. Semua tulisan dalam serial ini diambil dari tulisan yang sama di catatan dan dinding facebook saya. Silahkan beri penilaian: Bermanfaat, Menarik, atau Menantang di bawah artikel yang sesuai. Bagi pengguna facebook masih tetap bisa membacanya melalui link: https://www.facebook.com/mr.yulitenan