TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG KE "PRO EDUKASI"

20 Desember 2020

MENGGALI POTENSI WUJUDKAN MIMPI

Yuliyanto


“Saya lebih memilih untuk merawat banyak pasien daripada harus mendampingi dua anak saya belajar jarak jaruh dari rumah”, demikian cerita seorang ibu dua anak yang berprofesi sebagai perawat. Cerita itu muncul saat hari ini kami dalam satu kendaraan pada sebuah perjalanan menuju lapangan sepak bola. Ya, kebetulan kami sama-sama menjadi orangtua/wali siswa di sebuah sekolah sepak bola (SSB) yang hari ini akan melakukan pertandingan persahabatan dengan SSB lain.

Cerita ibu tadi merupakan sebagian kecil dari dampak pembelajaran jarak jauh yang sudah berlangsung hampir setahun karena masih terus berlangsungnya masa pandemi covid-19. Komentar tersebut menunjukkan bahwa sebuah pekerjaan yang tidak dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya, cenderung akan menimbulkan ketidaknyamanan dalam melaksanakannya. Guru pun pasti akan berkomentar yang sama dengan ibu tadi, jika harus merawat seorang pasien saja. Guru, perawat, atau profesi apa pun memiliki tugas masing-masing sesuai keahliannya yang diperoleh dari proses pendidikan yang ditempuhnya.

Pendidikan pada setiap jenjang memiliki visi, misi, dan tujuan masing-masing yang dijabarkan dari standar yang telah ditetapkan. Semua itu bermuara ke satu tujuan seperti ditetapkan dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Merujuk pada tujuan ini, setiap lembaga pendidikan harus memfasilitasi berkembangnya potensi peserta didik melalui berbagai kegiatan dalam proses pembelajaran dalam arti yang luas.

Bebragai kegiatan yang dilaksanakan ini merupakan bagian dari aksi sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Tanpa aksi yang nyata dan dilakukan terus menerus tanpa mengenal lelah, niscaya berbagai potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal. Jika hal ini terjadi maka tujuan yang sangat mulia itu akan sulit diwujudkan. Hal ini sejalan dengann nasehat bijak Marilyn King, sukses itu merupakan kombinasi dari tiga komponen yaitu tujuan, aksi, dan semangat. Tujuan tanpa diikuti sebuah aksi dengan penuh semangat hanya akan melahirkan sebuah mimpi yang tidak akan pernah terwujud.

Ada kalanya berbagai potensi peserta didik itu harus digali terlebih dahulu untuk memunculkan dan kemudian mengembangkannya. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan berbagai program dan aktivitas nyata yang mampu memfasilitasi anak mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan bakat dan mintanya saat ini. Mengapa demikian? Seorang guru saya di SMA pernah menyampaikan bahwa setiap individu dibekali berbagai macam bakat, tetapi hanya bakat-bakat tertentu yang akan berkembang secara optimal pada waktunya. Berkembang optimalnya bakat ini sangat dipengaruhi oleh minatnya, dan hal ini terus bergerak serta sangat mungkin berubah-ubah seiring perjalan waktunya.

Sumber: Koleksi Pribadi

Bidang tertentu yang saat ini diminati seorang anak belum tentu kelak akan menjadi bidang yang digeluti sebagai profesinya. Sering kita jumpai, dan bahkan mungkin kita sendiri mengalaminya, seorang anak yang pada waktu itu sangat berminat di bidang menyanyi misalnya, tetapi saat ini dia tidak menekuni bidang tersebut sebagai profesinya. Pun dengan berbagai bidang lain, sering terjadi tidak sesuai dengan bidang yang dulu diminatinya. Inilah yang menunjukkan bahwa minat seseorang itu bisa berubah-ubah seiring perjalanan waktu, dan akan berkembang optimal pada saatnya.

Bahkan banyak pula contoh kasus yang terjadi, di mana anak yang pada waktu itu berkemampuan biasa-biasa saja, tetapi sekarang tumbuh dan berkembang menjadi luar biasa, atau sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa kita tidak boleh menghakimi anak sebagai “anak bodoh”, “tidak mampu”, dan sejenisnya. Seorang teman menceritakan cara dia menasehati keponakannya, bahwa “orang yang slengekan semasa mudanya itu belum tentu slengekan selamanya”. Dia kemudian menunjukkan contoh seorang temannya yang dulu waktu sekolah seenaknya, tetapi sekarang menjadi sebaliknya. Oleh karenanya, sebaik-baik yang harus kita lakukan adalah terus berusaha, seperti pesan nasehat “orang tua berambut putih” dalam kuliah filsafatnya.

“Anak itu terus berkembang dan akan mencapai puncaknya pada saatnya nanti”, demikian saya sampaikan kepada ibu yang seorang perawat tadi, saat melanjutkan ceritanya, bahwa anaknya yang dulu waktu SD selalu meraih peringkat pertama, tetapi hingga sekarang belum bisa meraihnya kembali. Untuk itulah pemantauan dan evaluasi perlu terus dilakukan dalam setiap pelaksanaan sebuah program atau kegiatan. Pemantauan berkaitan dengan kesesuaian antara rencana dan pelaksanannya. Adapun evaluasi berkaitan dengan catatan kelebihan atau kekurangan yang muncul dalam pelaksanaan sebuah program atau kegiatan. Hal ini untuk mengetahui keberhasilan, efetifitas, dan efisiensi dari pelaksanaan program atau kegiatan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya mewujudkan mimpi.

06 Desember 2020

CATATAN SEPULUH NOVEMBER

 Oleh: Yuliyanto


Bagi bangsa Indonesia, Sepuluh November memiliki nilai sejarah tersendiri. Hal ini karena pada tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Pahlawan melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tertanggal 16 Desember 1959. Pertempuran Surabaya yang melibatkan para tentara Indonesia dalam melawan penjajah merupakan hal yang melatarbelakangi penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan.

Tanpa bermaksud mengesampingkan hari bersejarah tersebut, dalam tulisan ini saya akan fokus pada catatan tentang perjalanan pengabdian yang secara kebetulan terjadi bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan Sepuluh November. Hal ini berkaitan dengan ditetapkannya sebuah keputusan tentang alih tugas sebagai bagian dari perjalanan pengabdian ini. Seperti waktu sebelumnya acara pembacaan keputusan tersebut didahului dengan penerbitan dan penyampaian undangan yang dilakukan secara mendadak mendekati hari pelaksanaan.

Sumber: Koleksi Pribadi

Kali ini pun demikian, undangan untuk acara tersebut beredar sehari sebelumnya dimana pada saat itu tidak ada tanda-tanda atau firasat khusus akan ada peristiwa itu, walaupun dalam beberapa waktu sebelumnya telah menjadi bahan pembicaraan oleh beberapa kalangan. Demikian pula dengan yang saya alami, waktu itu saya pun melaksanakan aktivitas seperti biasa. Sesuai dengan agenda yang telah direncanakan, pagi hari saya memenuhinya di tempat pertama dimana telah memasuki tahun keempat saya ditugaskan. Siang harinya saya pun memenuhi agenda yang sama yang telah direncanakan di tempat tugas kedua dimana saya diberikan tugas tambahan sejak lima bulan sebelumnya.

Hampir selama kegiatan di tempat kedua itu saya tidak membuka gadget, agar bisa lebih fokus pada kegiatan saat itu. Begitu selesai melaksanakan kegiatan baru saya mulai membuka gadget, dan ternyata telah banyak informasi melalui pesan masuk dan bahkan beberapa panggilan yang tidak terjawab. Hampir semua berisi tentang hal yang sama, yaitu informasi berkaitan dengan undangan pelantikan yang akan dilaksanakan pada tanggal Sepuluh November esok harinya.

Tidak ada perasaan ataupun pikiran yang istimewa terlintas pada saat itu. Bahkan ketika seorang guru yang saat ini menjadi teman sejawat mengirimkan pesannya, “Selamat Pak ... semoga amanah dan berkah di ....” dengan menyebut sebuah tempat di mana saya pernah mengabdikan diri sekitar empat tahun silam. Merespon pesan tersebut saya pun menjawab singkat, “Weh ... saya belum tahu Pak”, dan beliau pun membalasnya lagi dengan penuh keyakinan, “Feeling saya Pak ... semoga pas begitu”. Kemudian saya pun mengakhiri pembicaraan dengan mengirimkan pesan, “Saya masih harus banyak belajar dengan Njenengan dan para senior lainnya”.

Sepuluh November keesokan harinya kami memenuhi undangan sesuai ketentuan yang tercantum di dalamnya. Hampir sepanjang acara tidak ada peserta yang mengakses gadget, disamping memang dilarang oleh panitia semua khusyu mendengarkan proses pembacaan keputusan. Sesaat setelah proses selesai, tanpa ada komando pun semua mulai mengakses gadget masing-masing. Seperti biasa terjadi, peristiwa ini pun memunculkan dua suasana yang berbeda, sedih dan gembira. Nuansa baper pun mulai mewarnai sesaat setelah pembacaan keputusan tersebut.

Salah seorang teman di tempat yang baru sekitar lima bulan saya berada di situ, mengirimkan pesan whatsapp dengan tiga huruf saja, “Pak”. Saya pun hanya membacanya tanpa merespon lebih lanjut saat itu. Yang ada di pikiran saya harus segera pulang, bukan karena sedih atau gembira tetapi karena kebetulan waktu itu saya secara fisik baru kurang fit kondisinya.

Setelah istirahat dan kondisi badan memungkinkan baru saya mencoba merespon pesan teman tersebut. Itu pun saya lakukan dengan sangat singkat, “Pripun Bu?”, mencoba memastikan apa maksud dari pesan tiga huruf yang sebelumnya dikirim. Hampir sekitar empat jam baru dia menjawab dengan icon orang menangis diikuti beberapa kalimat yang menggambarkan perasaan baper-nya. “Dingapunten, tasih speechless kulo Pak. Dan kembali untuk yang ketiga kalinya, saya minta ijin suami untuk diperbolehkan kalau tiba-tiba menangis ...”.

Saya pun mulai terbawa ke nuansa baper, tetapi saya berusaha merespon dengan kalimat yang mendinginkan suasana.


Ya Bu ...

Perasaan saya pun sama di hati yang paling dalam ...

Sama sekali tidak pernah berpikir akan secepat ini ...

Yang saya pikirkan ketika ada undangan adalah hanya pengukuhan saja untuk definitif di tempat ini ...

Tapi semua di luar kemampuan saya (kita) ...

Semua pasti akan membawa hikmah terbaik dari-Nya ...

Kita semua akan tetap menjadi bagian dari keluarga ...

Walaupun jauh (secara fisik) tetapi ikatan keluarga akan mendekatkan kita semua ...

Tetap semangat berkarya untuk anak-anak bangsa ...

Demikian saya membalas cukup panjang agar suasana menjadi netral kembali. Seperti tidak atau belum menerima jawaban saya, dia pun membalas lagi, “it’s so hard to say that I’m okay, I am really really down ... Need much time to rise up, Pak. And I believe many friends in here feel the same”.

Hari pun terus berganti dan tibalah saatnya secara kedinasan saya harus berpamitan untuk segera digantikan dengan yang baru masuk. Melalui grup kedinasan saya sampaikan kalimat cukup panjang dan formal.


Bapak/Ibu Guru dan Karyawan yang saya hormati ...

Dengan telah berakhirnya masa bakti kedinasan saya, dan telah dilaksanakannya serah terima jabatan, dengan segala kerendahan hati tanpa mengurangi rasa kekeluargaan yang telah terbangun selama ini, mohon ijin saya keluar dari grup kedinasan ini, untuk selanjutnya digantikan oleh yang baru.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya untuk seluruh Bapak/Ibu yang selama ini telah berjuang bersama dalam bingkai komunikasi dan kolaborasi yang sangat baik.

Mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan saya dan keluarga selama ini.

Saya tetap merasa menjadi bagian dari keluarga besar ini dan masih sangat terbuka untuk tetap memperkuat sillaturrahim melalui cara dan media yang lain.

Selamat melanjutkan perjuangan Bpak/Ibu semua. Semoga senantiasa sehat, kompak, dan sukses dalam setiap kegiatan. Aamiin ...

Beberapa saat kemudian saya pun keluar dari grup kedinasaan. Sempat beberapa teman merespon kalimat saya dengan kalimat yang bernuansa hampir sama. Berikut ini beberapa yang sempat saya baca dan dokumentasikan.


“Terima kasih bimbingan, arahan, dan kerjasamanya. Mohon maaf atas salah dan khilaf. Semoga Bapak pinaringan sehat dan sukses dalam menjalankan tugas, memimpin di tempat yang baru”.

 

 “Terima kasih Pak Yuli, semoga makin sukses dan sehat selalu”.

 

Matur nuwun atas segala bimbingan dan ilmu yng Bapak tularkan kepada kami. Semoga Bapak selalu diberikan kesehatan dan kesuksesan. Mohon maaf khilaf yang disengaja maupun tidak disengaja. Doa kami menyertai Bapak”.

 

“Terima kasih bimbingannya Pak Yuli. Mohon maaf atas segala kesalahan kami. Semoga Bapak diberikan kesehatan dan kesuksesan di manapun berada”.

 

“Terima kasih untuk tiga tahunnya Pak. Mohon maaf jika ada salah dan khilaf kami, semoga Bapak dan keluarga selalu dalam lindungan-Nya, dan selalu dimudahkan segala urusannya di manapun Bapak bertugas. Aamiin”.

Ada pula yang mengekspresikan dengan cara lain, tidak menyampaikannya melalui pesan di grup atau japri, tetapi memasangnya di status whatsapp, “Walau singkat tetapi sangat bermakna. Terima kasih atas ilmu, motivasi, dan arahannya, semoga selalu sukses di tempat yang baru”. Sebenar-benarnya, saya bahkan tidak pernah merasa melakukan hal-hal seperti diungkapkan oleh beberapa teman seperti dalam kalimat-kalimat tersebut.  

Semoga hal itu menjadi penanda bahwa jalinan sillaturrahiim dan ikatan kekeluargaan masih dan akan tetap terus ada tanpa dipengaruhi oleh dimensi jarak dan waktu. Karena sesungguhnya hal tersebut merupakan hal biasa bagi seorang pengabdi negara. Saya tutup catatan ini dengan kutipan pesan salah seorang anggota komite merespon kalimat yang juga saya sampaikan kepadanya.


Yth. Bapak Yuliyanto ...

Mutasi adalah hal yang wajar bagi seorang pegawai.

Saya yakin Pak Yuli mutasi karena prestasi yang telah diraih dan juga karena kepentingan dinas.

Untuk itu kami mengucapkan selamat berjuang di tempat yang baru.

Saya doakan semoga kerasan kewarasan dan membawa perubahan yang lebih baik di tempat yang baru.

Hubungan yang selama ini terjalin semata-mata karena panggilan hati yang tulus kita sebagai umat beragama dan adanya komitmen untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya sebagai komite.

Walau kami sudah berusana untuk yang terbaik, tetap ada dan banyak kekurangannya, untuk itu kami mohon maaf.

Mari kita jalin komunikasi yang lebih baik biar terwujud pertemanan dan persaudaraan yang langgeng.

Selagi masih mampu dan masih dibutuhkan InsyaAllah kami tetap akan menyumbangkan tenaga dan pikiran kami untuk kemajuan sekolah.

Semoga kita selalu diberikan keimanan,kesehatan, dan kesuksesan yang diridhoi Allah. Aamiin ...

29 November 2020

GURU SADAR LITERASI

Oleh: Yuliyanto


Kata “literasi” berasal dari istilah latin literatus, artinya orang yang belajar. Adapun kata sadar berarti tahu dan mengerti. Merujuk pada pengertian ini maka yang dimaksud guru sadar literasi adalah guru yang mengetahui dan mengerti tentang belajar, sehingga dia akan selalu dan terus belajar. Tuntutan perkembangan jaman dan teknologi menuntut guru untuk berbuat demikian dalam rangka memperluas wawasan dan pengetahuannya. Hal ini terutama dalam rangka mengembangkan kemampuannya dalam melaksanakan tupoksi proses pembelajaran (merencanakan, melaksanakan, dan menilai), membimbing dan melatih serta melaksanakan tugas lain yang relevan.


Sumber: Koleksi pribadi

Guru sadar literasi sangat sesuai dengan pernyataan, bahwa “guru sejati adalah guru yang tidak pernah berhenti menjadi murid”. Hal ini memuat makna bahwa seorang guru dituntut untuk terus belajar mengikuti tuntutan perkembangan jaman dan teknologi pada masanya. Cakupan belajar di sini meliputi banyak hal, seperti membaca, menulis, berbicara, berhitung, dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tupoksinya. Jika tidak demikian maka guru akan kalah selangkah atau beberapa langkah dengan muridnya atau guru lain sebagai teman sejawatnya yang senantiasa belajar dalam upaya mengembangkan kemampuannya.

Dalam kondisi tertentu kesadaran tersebut harus ditumbuhkan di kalangan guru. Diakui atau tidak kondisi macetnya banyak guru dalam proses kenaikan pangkatnya, salah satu faktor penyebabnya adalah belum atau kurang adanya kesadaran literasi guru. Setidaknya hal ini yang terjadi di lingkungan sekitar saya. Berdasarkan pengamatan dan data yang ada, banyak guru yang bertahan pada pangkat dan golongan tertentu hingga puluhun tahun. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini karena berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini, salah satu syarat wajib dalam usul kenaikan pangkat guru harus menyertakan komponen publikasi ilmiah dan karya inovasi (piki).

Komponen piki sangat erat hubungannya dengan literasi, yang di dalamnya memuat kemampuan membaca, menulis, dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Banyak permasalahan dalam pelaksanaan tupoksi yang sering hanya menjadi perbincangan saja. Anda mungkin pernah atau bahkan sering mendengar pernyataan seperti “kelas itu selalu ramai pada saat pelajaran”, atau “di kelas yang itu anak-anak kurang sekali motivasinya mengikuti pelajaran”, dan pernyataan-pernyataan sejenis yang pada intinya sebenarnya hal itu merupakan permasalahan yang harus diatasi oleh guru. Jika guru kemudian melakukan upaya-upaya tertentu untuk mengatasi permasalahan itu, dan menulisnya dengan kaidah tertentu maka akan menjadi sebuah karya ilmiah yang bisa dimanfaatkan sebagai salah satu kelengkapan usulan kenaikan pangkatnya.

Hal lain yang juga bisa dimanfaatkan oleh seorang guru yaitu tentang pengalamannya dalam melaksanakan tupoksi yang memiliki hasil dan dampak luar biasa. Setiap guru pasti memiliki pengalaman-pengalaman tertentu dalam melaksanakan tupoksinya. Dari sekian banyak pengalaman tersebut, satu atau beberapa diantaranya pasti ada yang memiliki dampak dan hasil yang luar biasa. Jika pengalaman yang seperti ini kemudian ditulis menggunakan kaidah tertentu, bisa menjadi sebuah karya ilmiah yang biasa kita kenal dengan praktik terbaik (best practice). Tulisan kategori ini pun dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bagian untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkatnya. Pun dengan berbagai jenis piki lainnya seperti tertuang dalam buku pedoman yang ada, seperti diktat atau modul, buku pedoman guru, artikel, dan masih banyak lagi lainnya.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar guru masih belum menyadari berbagai peluang yang bisa ditulis dan dimanfaatkan. Mengapa demikian? Banyak permasalahan yang diperbincangkan, banyak pengalaman yang sudah dilakukan, tetapi masih banyak teman guru yang belum mau atau mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan (ilmiah). Dalam kondisi yang demikian, perlu dilakukan upaya-upaya tertentu untuk membangun kesadaran guru akan pentingnya berliterasi, dalam arti terus dan selalu belajar untuk mengembangkan diri melalui berbagai kegiatan dan berbagai cara. Berkumpul dengan berbagai komunitas yang beranggotakan orang-orang yang memiliki kegemaran yang  bisa mengembalikan kesadaran dalam berliterasi perlu dilakukan. Mengapa demikian?

Berkumpul dengan komunitas yang literate seperti itu bisa menumbuhkan dan memperkuat motivasi untuk melakukan dan bersikap literate. Sikap ini akan membawa kita pada kondisi yang sama dengan anggota dalam komunitas tersebut. Awalnya mungkin akan merasa canggung dan tidak mudah untuk menyesuaikan dengan diskusi atau kegiatan yang dilakukan oleh anggota komunitas tersebut. Namun apabila kita bisa bertahan di dalamnya dan pelan-pelan terus mengikutinya, kita akan sampai pada keadaan yang setara atau bahkan mungkin melampauinya. Semangat, motivasi, dan keberanian kita untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan anggotanya akan terbangun melalui komunitas seperti itu.

Selain berkumpul dan berkawan dengan teman-teman dalam komunitas yang literate, kita juga harus banyak membaca. Oleh karenanya untuk menumbuhkan kesadaran berliterasi, kadangkala atau bahkan harus bagi kita untuk menyisikan seditkit dari yang kita miliki untuk membeli buku-buku yang menunjang. Salah seorang teman menyebutnya hal ini dengan istilah “jajan ora enak”. Dengan banyak membaca tentu wawasan dan pengetahuan kita akan semakin banyak pula. Hal tersebut sangat mungkin berpotensi menumbuhkan keinginan lainnya, seperti menulis untuk menuangkan ide-ide hasil sintesis dari apa yang dibacanya. Pun dengan berbagai kegiatan pendidikan dan latihan atau kegiatan lainnya yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan menulis sebagai salah satu bagian dari literasi, perlu kita ikuti agar pikiran kita segar kembali dan tumbuh idealisme-idealisme baru.

Guru sadar literasi merupakan sebuah keharusan yang perlu terus ditumbuhkan dan dikembangkan. Bagaimana mungkin budaya membaca bisa terbangun di kalangan murid, apabila kita (guru) tidak atau belum memiliki budaya itu. Pun dengan menulis, bagaimana mungkin budaya menulis bisa tumbuh dan berkembang di kalangan murid jika kita (guru) juga tidak atau belum memiliki budaya tersebut. Menjadi guru sadar literasi setidaknya akan menjadikan kita bisa menjadi contoh bagi murid dalam membangun lingkungan yang literate. Hal ini sangat sesuai dengan ungkapan bahwa, “sebuah contoh jauh lebih baik dari seribu nasehat”. Menjadi guru sadar literasi juga akan mendukung dan menguatkan gerakan membangun lingkungan pendidikan yang literate. Dengan demikian kritik masyarakat yang mengatakan bahwa “membangun budaya literasi dalam sistem yang tidak literate” tidak akan pernah ada lagi.

22 November 2020

SUPERTIM BUKAN SUPERMAN

Oleh: Yuliyanto


Superman adalah seorang tokoh dalam cerita fiksi dalam buku komik Amerika, yang menggambarkan seorang manusia yang memiliki kekuatan hebat atau luar biasa. Dia digambarkan sebagai seorang yang mampu menyelesaikan semua masalah yang terjadi secara sendirian. Karakter individualis dan kekuatan yang digambarkan pada tokoh inilah yang kemudian memunculkan berbagai julukan untuknya, seperti The Man of Steel atau manusia baja, dan julukan-julukan lain yang serupa.

Dalam kehidupan nyata karakter seperti dimiliki oleh superman itu kadangkala benar-benar kita jumpai. Anda mungkin pernah atau bahkan sering menyaksikan seseorang di sekitar Anda yang selalu mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikannya secara sendirian, tanpa harus dibantu ataupun bekerja sama dengan yang lainnya. Pun karakter seseorang yang merasa lebih mudah dan cepat menyelesaikan sesuatu apabila mengerjakannya secara sendirian daripada secara kelompok. Bukankah ini sebuah analog dari karakter superman?

Karakter superman mungkin sangat baik dan tepat untuk tugas-tugas yang bersifat perorangan. Tetapi bisa menjadi hal yang kurang baik dalam sebuah organisasi yang terdiri dari banyak orang dengan beberapa bagian dan tujuan tertentu. Mengapa demikian? Organisasi merupakan sebuah sistem yang semua bagiannya memiliki peran dan tanggungjawab tertentu serta saling terkait antara satu bagian dengan bagian lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap bagian dari sebuah sistem itu penting, dan memiliki keterkaitan yang tinggi dengan bagian lainnya untuk bergerak seiring sejalan dalam rangka mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.

Karakter superman dalam sebuah organisasi bisa berdampak kurang bagus bagi organisasi itu sendiri. Hal ini dikarenakan karakter tersebut dapat melemahkan peran dan tanggungjawab bagian yang lain dalam organisasi itu untuk saling bahu-membahu bergerak seiring seirama dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sifat menggantungkan diri dengan pribadi superman bisa muncul dan hal ini justru berpotensi menjadi titik lemah dari organisasi itu. Ibarat sebuah tim sepakbola yang sangat menggantungkan diri pada seorang pemain tertentu, justru akan lebih mudah dilemahkan oleh lawannya. Dengan mematikan pemain itu maka besar kemungkinan kinerja tim akan menjadi lemah dan mudah diserang serta dikalahkan oleh lawannya.

Karakter superman dalam sebuah organisasi bisa berpotensi melemahkan komunikasi diantara bagian-bagian di dalamnya. Komunikasi yang lemah dalam sebuah organisasi bisa berdampak memunculkan berbagai konflik internal akibat pemahaman yang berbeda tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh masing-masing bagian dari organisasi. Akhirnya kondisi ini akan menimbulkan kurangnya kekompakan dan kerjasama dalam mengeksekusi berbagai kegiatan organisasi. Dalam kondisi seperti ini tentu saja akan mempersulit organisasi itu dalam mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.

Bagaimana solusi untuk permasalahan seperti itu? Dalam sebuah tim sepakbola, kapten tim sebagai dirijen di lapangan pertandingan harus mampu mempergaruhi dan menggerakkan seluruh pemain untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama. Analog dengan hal tersebut, seorang pimpinan sebuah organisasi dituntut mampu melakukan hal yang sama. Hampir sebagian besar permasalahan organisasi muncul akibat aliran komunikasi yang kurang atau tidak lancar sampai ke seluruh anggotanya. Oleh karena itu seorang pimpinan organisasi harus mampu membangun komunikasi dengan seluruh bagian dari organisasi, dan tidak sebaliknya justru memerankan diri seperti karakter dalam tokoh fiksi superman.

Sumber: Koleksi pribadi

Membangun komunikasi yang baik menjadi faktor yang sangat strategis dalam sebuah organisasi. Saya memilih kata “membangun” dalam konteks ini karena di dalamnya ada sebuah proses yang harus dilakukan untuk mewujudkannya. Proses itu melibatkan seluruh komponen yang ada di dalamnya. Semua komponen sebuah organisasi harus menyadari dan memahami bahwa komunikasi merupakan bagian yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan organisasi. Pemahaman dan kesadaran seluruh bagian akan menjadikan bangunan komunikasi di dalamnya menjadi kokoh. Hal ini akan mengurangi bahkan meniadakan kesalahpahaman diantara bagian dari organisasi.

Dengan demikian kekompakan seluruh bagian organisasi akan terbangun, dan hal ini akan memunculkan kolaborasi atau kerja sama yang baik dalam organisasi. Kolaborasi atau kerja sama yang baik inilah yang akan menjadikan organisasi itu menjelma menjadi sebuah supertim atau tim yang kuat. Akhirnya supertim inilah yang akan menjadikan sebuah organisasi hidup dan bergerak melangkah seiring seirama untuk secara bersama-sama berupaya mewujudkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

04 November 2020

CINTA SEGITIGA MEMBAWA BAHAGIA

Oleh: Yuliyanto

 

Segitiga merupakan sebuah bangun datar dalam matematika yang memiliki tiga buah titik sudut yang saling terhubung oleh sebuah ruas garis antara satu dengan lainnya. Istilah cinta segitiga mungkin muncul dengan mengacu pada salah satu sifat bangun segitiga tersebut. Oleh karenanya istilah itu sering digunakan untuk menggambarkan sebuah hubungan yang melibatkan tiga orang. Keterlibatan tiga orang dalam hubungan itu, pada sebuah referensi bahkan dikatakan bersifat romantis, artinya mesra dan mengasyikkan.

Dalam penerapannya, pada umumnya istilah cinta segitiga memiliki kecenderungan makna negatif. Tetapi sebenarnya dalam banyak konteks yang lebih luas istilah itu bisa juga bermakna sangat positif. Sebagai contoh dalam dunia pendidikan, dikenal istilah tri pusat pendidikan, yang di dalamnya memuat tiga komponen, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hubungan diantara ketiganya yang sangat harmonis, sebenarnya bisa dimasukkan dalam kategori cinta segitiga tersebut. Bukankah ini salah satu makna positif dari cinta segitiga?

Sumber: Koleksi pribadi


Dalam tulisan ini, istilah cinta segitiga dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan yang harmonis diantara tiga buah komponen pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat (komite sekolah). Adapun maksud dari hubungan yang harmonis dalam konteks ini, yaitu hubungan diantara ketiganya dalam membangun komunikasi dan melakukan  kolaborasi untuk secara bersama-sama mensukseskan berbagai kegiatan. Bangunan komunikasi dan kolaborasi ini sesuai dengan sifat segtiga yang memiliki tiga buah titik sudut  yang saling terhubung antara satu dengan lainnya.

Komunikasi diantara ketiga komponen menjadi hal yang utama, karena faktor ini yang akan menjadikan hubungan itu harmonis dengan pemahaman yang sama antara satu komponen dengan komponen lainnya. Bangunan komunikasi yang kuat diantara ketiga komponen akan menjadikan ketiganya berjalan seia sekata dalam berbagai kegiatan. Hal ini akan menumbuhkan semangat diantara ketiga komponen untuk berkolaborasi, saling berkerja sama dalam berbagai kegiatan sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan tertentu yang telah ditetapkan.

Untuk menciptakan bangunan komunikasi yang kokoh, tentu saja komponen sekolah menjadi kuncinya. Oleh karena itu jika digambarkan dalam bangun segitiga, komponen ini akan menjadi puncaknya, sedangkan dua komponen lainnya, yaitu keluarga dan masyarakat (komite) menjadi bagian dari alas segitiga itu. Hal ini memuat makna bahwa, sebelum sampai kepada keluarga dan masyarakat (komite), bangunan komunikasi internal di sekolah harus kokoh terlebih dahulu. Semua komponen sekolah harus sudah memiliki pemahaman yang sama, seia sekata berjalan seirama terhadap rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.

Setelah bangunan komunikasi internal kokoh, komponen kedua yang harus juga memiliki pemahaman yang sama adalah masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh komite sekolah. Oleh karena itu, semua hal yang sudah dikomuniaksikan secara internal harus dikomunikasikan kepada masyarakat melalui komponen itu, yaitu komite sekolah. Proses komunikasi dalam hal ini bersifat dua arah, artinya sekolah kepada komite dan sebaliknya dari komite kepada sekolah. Hal ini dilakukan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan hal-hal yang sudah dikomunikasikan secara internal yang melibatkan seluruh warga sekolah.

Hasil komunikasi antara sekolah dan komite sekolah tersebut selanjutnya harus dikomunikasikan kepada keluarga yang juga bagian dari masyarakat, dalam hal ini meliputi siswa beserta orang tua/wali. Komunikasi ini pun bersifat dua arah, dalam arti komponen keluarga sebagai bagian dari masyarakat juga dapat memberikan masukan kepada sekolah secara langsung maupun melalui komite sebagai perwakilan dari komponen masyarakat. Proses ini memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu untuk membangun pemahaman yang sama diantara ketiga komponen, sehingga ketiganya dapat berjalan seirama dengan arah dan tujuan yang sama pula.

Keberhasilan proses di atas akan menghasilkan sebuah bangunan cinta segitiga diantara ketiga komponen yang kokoh dan harmonis. Dengan kondisi seperti ini akan memunculkan rasa kebersamaan yang tinggi diantara ketiga komponen tersebut. Rasa kebersamaan yang tinggi akan memunculkan kolaborasi yang bagus diantara ketiganya dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Kolaborasi yang bagus diantara ketiganya akan mewujud dalam bentuk kerja sama yang baik dalam mengeksekusi berbagai kegiatan. Dengan demikian peluang berhasil akan lebih besar diraih, dan kondisi seperti ini akan menumbuhkan rasa puas serta bahagia bagi semua komponen yang terlibat. 

29 Oktober 2020

KETERAMPILAN ABAD 21 DI ABAD 20

Oleh: Yuliyanto


Abad merupakan sebuah istilah untuk menyebut rentang waktu yang lamanya seratus tahun. Saat ini kita berada di abad 21, mengapa demikian? Karena saat ini kita berada di tahun 2020 yang merupakan bagian dari rentang waktu antara tahun 2001 sampai 2100. Merujuk pada pengertian ini, berarti rentang waktu untuk abad 20 yaitu dari tahun 1901 hingga 2000.

Keterampilan abad 21 yang di Indonesia lebih akrab dikenal dengan 4K, yaitu kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif belakangan sangat gencar dikampanyekan. Merujuk pada beberapa referensi, kritis merupakan sebuah sikap yang sangat terbuka dan respek terhadap berbagai data dan pendapat. Kreatif berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu. Berikutnya komunikatif memuat makna berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Adapun kolaboratif, dapat dimaknai sebagai sebuah kemampuan seseorang untuk bekerja sama dengan orang lain.

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mengapa keterampilan tersebut dinamakan keterampilan abad 21? Atau mungkin juga, apakah di abad 20 atau abad-abad sebelumnya keterampilan tersebut belum ada? Menurut pendapat saya, semua keterampilan tersebut sudah ada dan dimiliki oleh generasi di abad 20 bahkan abad sebelumnya. Isitlah keterampilan abad 21 yang gencar dikampanyekan untuk menyebut keterampilan tersebut di abad 21 ini lebih dimaksudkan untuk membangkitkan keterampilan tersebut pada generasi muda saat ini agar mampu mengarungi kehidupannya di abad berikutnya.

Kata “membangkitkan” berasal dari kata “bangkit” yang dapat dimaknai sebagai “bangun atau hidup kembali”. Hal ini berarti bahwa keterampilan abad 21 tersebut sebenarnya sudah ada di abad 20, tetapi di abad 21 ini keberadaannya mulai berkurang atau bahkan hilang atau mati. Kecanggihan teknologi di abad 21 tidak bisa dipungkiri menyediakan sangat banyak kemudahan yang bisa berpotensi menurunkan keterampilan yang disebut sebagai keterampilan abad 21 itu sendiri. Mengapa demikian? Faktanya yang sering kita saksikan atau bakan kita alami, kecenderungan selalu memanfaatkan gadget dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan berpotensi menurunkan sikap dan perilaku kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.

Sumber: kemenpora.go.id

Slogan “Bersatu dan Bangkit” yang diusung pemerintah melalui Kemenpora dalam peringatan hari Sumpah Pemuda tahun 2020 ini, disamping sebagai pembangkit motivasi dalam gerakan masyarakat menghadapi situasi pandemi covid-19, juga menyiratkan adanya kondisi yang menurun pada keduanya. “Semangat persatuan tidak bisa ditawar lagi, harus bersatu dan bergotong royong.”, demikian disampaikan oleh Menpora dalam situs resminya (kemenpora.go.id) pada launching logo hari Sumpah Pemuda 2020. “Tanpa persatuan, kita tidak akan bisa, makanya harus bersatu lalu kita bangkit, demikian papar Menpora dalam situs yang sama.

Sebaik-baik cara memperingati hari bersejarah, termasuk di dalamnya Sumpah Pemuda, salah satunya adalah dengan melakukan refleksi dengan cermin peristiwa bersejarah tersebut. Seperti kita semua ketahui, bahwa Sumpah Pemuda lahir sebagai alat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal itu dilakukan dengan cara menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Walaupun peristiwa itu lahir di abad 20, namun hal tersebut tidak bisa dipungkiri merupakan contoh implementasi nyata keterampilan abad 21, yaitu kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.

Karakter kritis para pemuda Indonesia waktu itu ditunjukkan oleh sikapnya yang sangat respek terhadap situasi dan kondisi bangsa Indonesia untuk dapat keluar dari belenggu penjajahan. Hal itu membawa para pemuda Indonesia untuk berpikir mencari solusi, hingga akhirnya tercetus ide mengadakan Sumpah Pemuda. Bukankah ini sebuah gagasan yang kreatif dari para pemuda Indonesia di abad 20 waktu itu? Akhirnya pada Konggres Pemuda II yang diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928, seluruh pemuda bersepakat untuk bersatu dengan satu perasaan yang bangga sebagai bangsa Indonesia. Hal itu didasari oleh pemahaman yang sama bahwa, persatuan dengan tidak mengedapankan kepentingannya sendiri akan mempermudah melawan penjajah. Bukankah ini hasil dari kemampuan mereka dalam berkomunikasi dan berkolaborasi diantara para pemuda Indonesia pada waktu itu?

Kita yang saat ini masih berkesempatan mengikuti peringatan hari Sumpah Pemuda, bisa dikatakan tinggal menikmati hasil dari perjuangan para pemuda waktu itu. Oleh karenanya, seperti pesan Menpora di atas, mau tidak mau kita harus meneladani dan mengimplementasikan semangat dan perjuangan mereka dalam kehidupan saat ini dan yang akan datang. Generasi muda sebagai tulang punggung bangsa, harus mampu berpikir kritis untuk menghasilkan ide atau gagasan yang kreatif dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Kemampuan berkomunikasi dengan berbagai elemen dan komunitas mutlak dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan menurunnya rasa persatuan. Pun kemampuan bekerja sama dengan berbagai elemen dan komunitas harus terus dibangkitkan, agar seberat apa pun permasalahan yang dihadapi bisa terasa lebih ringan dalam penyelesaiannya.

25 Oktober 2020

BERJALAN MUNDUR UNTUK MAJU

Oleh: Yuliyanto


Albert Einstein, seorang ahli fisika dan matematika pernah menyampaikan nasehat bijak yang kurang lebih artinya kita harus belajar dari kemarin, hidup untuk hari ini, dan berharap untuk besok. Jika kita cermati nasehat tersebut berkaitan dengan fakta bahwa kita diberikan tiga waktu, yaitu kemarin, hari ini, dan besok. Kemarin merupakan waktu yang pernah kita lewati dan pasti tidak akan bisa kita ulangi, kecuali menjadikannya segala sesuatu yang baik pada waktu tersebut sebagai pengalaman untuk belajar. Hari ini merupakan waktu yang kita miliki dan bisa kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan besok merupakan waktu yang belum tentu kita dapat menikmati dan memanfaatkanya.

Judul tulisan ini terinspirasi oleh waktu yang sudah berlalu (kemarin) dengan berbagai pengalaman baik yang pernah dialami dan dapat kita manfaatkan sebagai pelajaran yang berharga untuk melangkah maju. Ada kalanya kita harus berjalan mundur beberapa langkah untuk bisa maju. Dalam penerapannya, konteks berjalan mundur ini sangat banyak sekali ragamnya. Melihat ke belakang melalui kaca spion saat kita berkendaraan, merupakan salah satu contoh dari konsep berjalan mundur ini. Kegiatan penilaian kinerja yang dilaksanakan saat ini tetapi untuk masa satu atau dua tahun yang lalu, merupakan contoh lain yang mengharuskan kita untuk berjalan mundur agar berhasil. Dalam konteks belajar pun dikenal sebuah strategi pemecahan masalah yang dikenal dengan work backward atau bekerja mundur.

Dalam belajar menulis, strategi berjalan mundur ini pun sangat tepat untuk dilakukan, terutama bagi para pemula, seperti saya. Mengapa demikian? Karena menulis sesuatu yang pernah kita alami relatif lebih mudah. Jadi, strategi berjalan mundur dalam konteks belajar menulis ini dimaknai sebagai strategi untuk memperlancar menuangkan hal-hal yang pernah kita alami dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan semacam ini dapat menjelma menjadi berbagai jenis dan tidak menutup kemungkinan akan bisa menjadi tulisan yang sangat bagus untuk dinikmati (dibaca). Jika kita menulisnya secara persis seperti apa yang kita alami, maka tulisan itu akan menjadi sebuah kisah nyata. Tetapi apabila kita menulisnya dengan dibumbui berbagai hal berdasarkan imajinasi kita, tulisan itu akan menjelma menjadi sebuah cerita fiksi yang hebat. Bahkan jika kita mengemasnya dengan aturan-aturan ilmiah, tulisan itu bisa menjadi sebuah karya ilmiah yang bisa dipublikasikan dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan bagi penulisnya.

Sumber: Koleksi pribadi

Selanjutnya kita akan fokus pada tulisan yang berkaitan dengan sesuatu yang pernah kita lakukan yang biasa dikenal dengan istilah best practice (praktik terbaik). Tulisan dalam kategori ini adalah tulisan yang berisi tentang pengalaman sesorang dalam mengatasi suatu permasalahan dengan cara yang efektif dan efisien dengan hasil yang luar biasa. Disamping efektif dan efisien, dalam beberapa referensi jenis tulisan ini memiliki beberapa karakteristik lain, yaitu: 1) bersifat inovatif; 2) membawa perubahan; 3) mengatasi permasalahan secara berkelanjutan; dan 4) menginspirasi orang lain. Much. Khoiri dalam bukunya “Writing is Selling” menyatakan bahwa, “Semua profesi memiliki best practice yang bisa dibagikan kepada masyarakat.” Ini berarti, jika kita memiliki kemauan yang kuat, pasti mampu menulis best practice yang bisa dibagikan sebagai bahan pelajaran.

Apabila Anda ingin menulis best practice itu dalam bentuk publikasi ilmiah, maka Anda harus menyesuaikannya dengan sistematika dan kaidah sebuah tulisan ilmiah. Merujuk beberapa referensi, sistematika ini pada umumnya meliputi empat bagian. Yang pertama, bagian awal, yang memuat halaman judul, lembar persetujuan, lembar pernyataan keaslian, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar lampiran, dan abstrak atau ringkasan. Berikutnya, bagian isi, terdiri dari pendahuluan, kajian/tinjauan pustaka, dan pembahasan masalah. Adapun bagian ketiga yaitu penutup, berisi simpulan dan saran, serta bagian keempat, penunjang yang berisi  daftar pustaka dan lampiran.

Dalam kondisi seperti itulah kita harus berjalan mundur. Mengapa demikian? Karena kita akan menulis sesuatu yang pernah kita lakukan pada beberapa waktu yang silam. Sangat mungkin ketika melaksanakan hal tersebut kita belum atau bahkan tidak mengawalinya secara tertulis tentang latar belakang, rumusan masalah dan tujuannya. Tetapi ketika kita harus menulisnya secara ilmiah, hal itu merupakan salah satu syarat yang wajib dipenuhi. Pun tentang kajian pustaka tertentu yang mendasari kita melakukan strategi atau cara dalam mengatasai permasalahan tersebut. Tetapi sekali lagi, ketika saat ini kita harus menulisnya dengan aturan ilmiah, hal itu menjadi salah satu syarat yang diwajibkan. Oleh karenanya kita harus mendeskripsikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan mengaitkannya antara strategi atau cara yang pernah kita lakukan dalam mengatasi masalah itu dengan teori pendukung yang relevan melalui kajian/tinjauan pustaka. Bukankah ini sebuah alur bekerja atau berjalan mundur?

Berjalan mundur seperti saya sampaikan di atas, dapat membawa kita kepada kemajuan atau peningkatan. Mengapa demikian? Jika Anda seprofesi dengan saya, sebagai guru, hasil tulisan tersebut dapat Anda manfaatkan sebagai salah satu kelengkapan usulan kenaikan pangkat dari komponen publikasi ilmiah dan karya inovasi (piki). Apabila usulan itu lolos, maka Anda akan naik pangkat dan golongannya setingkat di atasnya dari sekarang. Jika Anda melakukannya lagi seperti itu beberapa waktu berikutnya, Anda akan berpeluang naik setingkat lagi, demikian seterusnya. Tetapi apakah ini sebuah kewajiban? Jawabnya tidak, karena seperti saya sampaikan di atas, dengan tulisan itu Anda dapat memanfaatkannya untuk kelengkapan usul kenaikan pangkat. Kata “dapat” ini memuat makna bahwa Anda tidak wajib memanfaatkanya untuk keperluan tersebut.

Jadi, yang lebih penting dalam membuat tulisan seperti itu atau tulisan apa pun, upayakan menghindari tujuan pragmatis, seperti agar bisa naik pangkat dan sejenisnya. Karena jika demikian, hanya dua hal kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, apabila tidak lolos Anda akan sangat kecewa yang bisa mengakibatkan Anda akan berhenti menulis. Kedua, apabila lolos pun bisa berpeluang mengakibatkan rasa puas yang berlebihan, dan itu bisa berpotensi membuat kita lalai kemudian berhenti menulis karena tujuannya sudah tercapai. Cobalah berjalan mundur untuk maju sekarang juga, karena besok kita tidak akan tahu masih ada kesempatan untuk melakukannya atau tidak.

11 Oktober 2020

MENIKMATI HABITUASI BARU

Oleh: Yuliyanto


Gitar merupakan salah satu alat musik yang dulu pernah atau bahkan sering saya memainkannya. Tentu tidak sebaik orang-orang yang mendasarinya dengan ilmu melalui gurunya, karena saya hanya belajar melalui teman yang juga tidak berguru, saat tongkrong di pos. Entah apa yang mendorong hari ini saya mengambil gitar milik adik saya, dan mencoba memainkannya seperti dulu. Baru sebentar memainkan sudah terasa sakit ujung-ujung jemari ini. Mungkin hal ini karena kebiasaan seperti itu sudah sangat lama tidak dilakukan. Perlu proses habituasi ulang untuk membuat ujung-ujung jemari ini bertahan cukup lama dan tidak sakit saat memainkannya.

Sumber: Koleksi pribadi

Habituasi merupakan padanan dari kata pembiasaan, yang dapat dimaknai sebagai suatu proses yang dilakukan secara berulang agar menjadi terbiasa. Banyak hal dalam kehidupan kita yang harus ditanamkan melalui proses habituasi agar menjadi sebuah kebiasaan, dan pada tataran yang lebih tinggi menjadi sebuah budaya. Kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, mengenakan masker, dan menjaga jarak merupakan salah satu contoh hasil dari proses habituasi di era kehidupan baru ini.

Proses habituasi tidak jarang harus melalui sebuah pemaksaan, baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Belakangan sering kita saksikan sebuah kegiatan operasi masker yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Seseorang yang tertangkap tidak mengenakan masker pada saat operasi tersebut akan mendapatkan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini dilakukan untuk memberi efek jera kepada masyarakat, dengan tujuan untuk membiasakan mengenakan masker di saat bepergian. Ini merupakan salah satu contoh proses habituasi yang melalui sebuah pemaksaan.

Pada umumnya, habituasi ini merupakan sebuah proses yang kurang atau bahkan tidak menyenangkan. Baik dari kondisi ada menjadi tidak ada maupun sebaliknya, dari kondisi tidak ada menjadi ada, proses habituasi cenderung akan terasa kurang atau tidak menyenangkan bagi siapapun yang menjalaninya. Tetapi jika kita mampu menjalani dan menikmatinya dengan baik akan menjadi sesuatu yang sebaliknya, yaitu sangat menyenangkan. Ibarat obat, proses habituasi ini merupakan obat pelancar peredaran darah yang akan membuat tubuh kita menjadi nyaman semuanya.

Dalam hal berlatih menulis pun perlu proses habituasi tersebut. Pada kondisi tubuh sehat dan normal mungkin relatif lebih mudah untuk melakukannya sesuai dengan kesepakatan diri yang telah ditetapkan. Namun seumpama sebuah kendaraan, kadang tubuh kita juga mengalami gangguan pada onderdil tertentu yang mengharuskan kita memperbaikinya di bengkel. Dalam kondisi ini bisa mengakibatkan kendaraan kita tidak bisa difungsikan seperti biasa, setidaknya hingga proses perbaikan selesai. Pun dengan tubuh kita, sehingga harus istirahat sejenak untuk memulihkan kondisi agar bisa kembali memenuhi kesepakatan mendidik diri agar bisa menulis.

Kondisi tubuh yang kurang atau tidak normal sangat berpengaruh terhadap jalannya proses habituasi menulis. Habituasi lain untuk mengembalikan kondisi tubuh menjadi hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan. Hal ini tentu bisa berdampak kita berhenti dalam waktu relatif lama dari proses habituasi menulis. Tentu hal ini juga akan bisa membawa dampak terhadap sensitifitas dalam menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan. Setidaknya hal tersebut yang saat ini sedang saya rasakan. Hasrat untuk kembali bisa menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan tetap terjaga, namun sensitifitas terasa mengalami penurunan.

Perlu sebuah perjuangan dari dalam diri untuk mengembalikan sensitifitas tersebut. Tidak mudah memang, tetapi harus terus dan tetap diupayakan agar tidak semakin menghilang. Tulisan ini menjadi yang pertama setelah beberapa waktu saya tidak melakukannya, karena harus menikmati habituasi baru lainnya. Terasa agak sulit dan kurang mengalir kalimat-kalimatnya, tetapi saya mencoba memaksa diri ini untuk terus melanjutkannya agar secara perlahan sensitifitas tersebut bisa kembali. Dengan demikian akan melancarkan aliran ide-ide untuk dituangkan dalam bentuk tulisan, seperti lancarnya peredaran darah setelah memakan obat pelancar peredaran darah, dengan menikmati habituasi baru ini.

02 Oktober 2020

FAKTA TENTANG BILANGAN PRIMA

 Oleh: Yuliyanto


Bilangan N = 49.725 menyatakan usia sekelompok remaja yang dikalikan. Berapa banyak remaja dan berapa usia mereka? Jelaskan bagaimana Anda menemukan jawaban tersebut.

Kita perlu belajar banyak mengenai pemfaktoran bilangan bulat untuk menyelesaikan permasalahan di atas. Bagaimana kita bisa mengetahui banyak remaja dalam kelompok itu? Apakah hasilnya merupakan bilangan prima?  Selama proses menyelesaikan, kita perlu mengembangkan ide intuitif tentang beberapa sifat bilangan prima yang akan kita bahas lebih lanjut di bagian ini.

Topik yang sangat penting dalam materi ini adalah konsep bilangan prima. Sebuah bilangan bulat N yang lebih dari 1 merupakan bilangan prima apabila satu-satunya cara menyatakan pemfaktorannya adalah 1 x N. Sebagai contoh, 2 merupakan bilangan prima karena satu-satunya cara memfaktorkan bilangan itu adalah 1 x 2. (Kita anggap faktorisasi 2 x 1 sebagai faktorisasi yang sama, walaupun urutannya berbeda). Demikian pula, 3 merupakan bilangan prima. Perhatikan bahwa bilangan prima merupakan bilangan yang lebih besar dari 1.

Bilangan bulat lebih dari 1 yang bukan prima disebut bilangan komposit. Ini berarti bahwa bilangan bulat tersebut dapat difaktorkan menjadi dua atau lebih bilangan prima. Sebagai contoh, 9 merupakan bilangan komposit, karena dapat difaktorkan menjadi 3 x 3. Demikian pula 14 juga merupakan bilangan komposit, karena dapat difaktorkan menjadi 2 x 7. Dalam menemukan faktor persekutuan terbesar (FPB) dari beberapa bilangan, seringkali kita harus memfaktorkan bilangan-bilangan itu ke dalam faktor-faktor primanya. Kita akan membahasnya lebih banyak nanti. Sebagai contoh, 36 = 4 x 9 = 2 x 2 x 3 x 3. Meskipun tampak jelas bahwa setiap bilangan komposit dapat difaktorkan ke dalam faktor-faktor primanya, kita harus benar-benar meyakininya.

Untuk keperluan tersebut, perhatikan teorema yang mengatakan bahwa, “Setiap bilangan komposit N dapat difaktorkan ke dalam faktor prima”. Bukti dari teorema ini cukup mudah. Ingat bahwa bilangan asli, meliputi 1, 2, 3, ... . Selanjutnya, jika N bilangan komposit, maka N dapat difaktorkan menjadi dua bilangan asli yang lebih kecil, a dan b. Jika keduanya prima, selesailah bukti kita. Jika tidak, maka setiap faktor komposit dapat difaktorkan dalam bilangan asli yang lebih kecil. Jika bilangan-bilangan asli yang lebih kecil itu semuanya prima, selesailah pembuktian kita. Jika tidak, setiap faktor komposit dapat difaktorkan menjadi bilangan asli yang lebih kecil. Kata kunci dalam pembuktian ini yaitu “lebih kecil”. Kita tidak mungkin terus memfaktorkan tanpa batas, karena setiap kali kita memfaktorkan, kita peroleh faktor bilangan asli yang lebih kecil, dan banyak bilangan asli yang lebih kecil dari N itu berhingga. Jadi, prosesnya harus diakhiri setelah kita tidak dapat menemukan lagi faktor bilangan asli yang lebih kecil. Pada kondisi tersebut setiap bilangan dalam faktorisasi N merupakan bilangan prima.

Teorema di atas membawa akibat, yaitu “Setiap bilangan bulat N > 1 dapat merupakan bilangan prima atau dapat difaktorkan menjadi bilangan prima”. Kita mulai pembuktian ini dengan mengingat bahwa salah satu kemungkinan dari N yaitu merupakan bilangan prima atau komposit. Jika bilangan prima, selesai pembuktian kita. Jika komposit, maka berdasarkan teorema sebelumnya dapat difaktorkan menjadi bilangan-bilangan prima.

Teorema di atas kelihatannya seperti biasa. Tetapi faktanya setiap bilangan dapat difaktorkan menjadi bilangan prima, dan hal ini bisa menjadi sangat sulit apabila bilangannya sangat besar. Padahal fakta inilah yang menjadi dasar keamanan nasional. Banyak rahasia negara yang dienkripsi (seperti nomor kartu kredit dalam transaksi online) menggunakan skema yang hanya dapat dipecahkan jika faktor prima dari bilangan besar tertentu dapat ditemukan. Masalahnya, bilangan-bilangan itu sangat besar (terdiri dari beberapa ratus digit), dan untuk menemukan faktor-faktor primanya, bahkan menggunakan komputer canggih pun bisa memakan waktu puluhan tahun. Jadi, untuk saat ini, atau sampai ada orang yang bisa menemukan cara cepat untuk memfaktorkan bilangan sepeti itu menjadi bilangan prima, semua akan aman. Skema enkripsi ini merupakan penerapan bilangan prima yang menarik, dan kita akan membahasnya lebih lanjut di bagian ini.

Teorema berikutnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu “Jika bilangan prima p habis membagi hasil kali ab, maka bilangan prima p harus membagi a atau b”. Anda mungkin berpikiran bahwa hal ini sudah jelas. Kita hanya memfaktorkan a dan b menjadi bilangan prima, dan jika p membagi hasil kali bilangan-bilangan prima itu, maka itu salah satunya. Masalah sebenarnya yaitu kemungkinan terdapat lebih dari satu cara memfaktorkan bilangan menjadi bilangan prima, dan salah satu diantaranya mungkin tidak melibatkan bilangan prima p. Ini merupakan masalah yang hampir tidak kelihatan, dan setelah kita bahas di akhir bagian nanti, kita akan mengetahui bukti teorema ini.

Perhatikan kata “prima” dalam teorema tersebut. Akan menjadi tidak benar hasilnya apabila kata “prima” itu dihilangkan. Sebagai contoh, 18 dapat difaktorkan menjadi 2 dan 9, dan bilangan komposit 6 habis membagi 2 x 9. Tetapi bilangan komposit 6 tidak habis membagi 2 atau 9.

Teorema tersebut sering digunakan dalam pembuktian. Sebagai contoh, jika diketahui bahwa 3 habis membagi beberapa bilangan (p2 + 1)((q – 2) dan diketahui bilangan itu tidak habis membagi bilangan pertama p2 + 1, maka bilangan itu harus membagi bilangan kedua q – 2, karena 3 meruakan bilangan prima.

Jika kita membuat daftar bilangan prima secara berurutan, kita miliki: 2, 3, 5, 7, 11, 13, 19, dan seterusnya, tampak tidak terdapat beda yang khusus diantara bilangan prima yang berurutan. Sebagai contoh, 2 dan 3 memiliki beda 1, 3 dan 5 memiliki beda 2, 5 dan 7 memiliki beda 2, 7 dan 11 memiliki beda 4. Hal yang wajar muncul pertanyaan, seberapa besar selisish atau beda antara dua bilangan prima berurutan? Mungkinkah beda antara dua bilangan prima berurutan 10.000? Dengan kata lain dapatkah kita menemukan 10.000 bilangan bulat berurutan yang merupakan bilangan komposit, atau harus prima dalam daftar 10.000 bilangan berurutan? Secara mengejutkan, jawabannya adalah kita dapat menemukan 10.000 bilangan berurutan yang merupakan bilangan komposit. Kenyataannya, hal itu dapat kita tunjukkan kepada Anda. Bilangan-bilangan itu adalah (10.001)! + 2, (10.001)! + 3, (10.001)! + 4 + ... + (10.001)! + 10.001. Ingat kembali bahwa 10.001! merupakan perkalian semua bilangan bulat dari 1 sampai 10.001. Kata kunci untuk membuktikan bahwa itu semua bilangan komposit adalah bahwa 10.001! habis dibagi berturut-turut oleh 2, 3, 4, dan seterusnya hingga 10.001. Sehingga, bilangan pertama, yaitu (10.001)! + 2 merupakan penjumlahan dua bilangan yang habis dibagi 2, oleh karenanya bilangan itu juga habis dibagi 2. Bilangan kedua, (10.001!) + 3 merupakan penjumlahan penjumlahan dua bilangan yang masing-masing habis dibagi 3, sehingga bilangan itu juga habis dibagi 3. Dengan cara yang sama, bilangan berikutnya merupakan penjumlahan dua bilangan yang masing-masing habis dibagi 4. Oleh karenanya bilangan itu juga habis dibagi 4. Demikian seterusnya, dan kita melihat bahwa masing-masing dari 10.000 bilangan dalam kumpulan bilangan tersebut merupakan bilangan komposit.

Teorema yang mendukung uraian terakhir yaitu “Jika N merupakan bilangan bulat positif, terdapat deretan N bilangan komposit berurutan”. Untuk membuktikannya, perhatikan N buah bilangan, (N + 1)! + 2, (N + 1)! + 3, (N + 1)! + 4, ..., (N + 1)! + (N + 1). Mengingat bahwa (N + 1)! dapat dibagi oleh semua bilangan bulat dari 2 hingga N + 1, dan dengan menggunakan argumentasi yang sama pada uraian sebelumnya, kita ketahui bahwa masing-masing merupakan  bilangan komposit. Artinya, bilangan pertama merupakan bilangan komposit karena merupakan penjumlahan dua bilangan yang masing-masing habis dibagi 2. Bilangan kedua merupakan bilangan komposit karena merupakan penjumlahan dua bilangan yang masing-masing habis dibagi 3, demikian seterusnya.

Dengan demikian, kita dapat menemukan satu juta, satu milyar, atau bahkan satu trilyun bilangan berurutan dengan tidak terdapat bilangan prima di dalamnya. Hal ini seperti menunjukkan bahwa bilangan prima menjadi semakin langka, dan mungkin hanya terdapat sejumlah bilangan prima yang terbatas. Dan bahkan jika banyak bilangan prima berhingga, bagaimana mungkin membuktikannya? Terdapat tak terhingga banyak bilangan prima, seperti kita ketahui, dan Euclid membuktikannya dengan cara berikut. Bukti ini tentu diperhitungkan sebagai salah satu dari bukti paling efisien, cerdik,dan elegan dalam matematika.

Menggunakan bukti dengan kontradiksi, andaikan banyak bilangan prima berhingga. Kita sebut bilangan-bilangan tersebut p1, p2, p3, ..., pL, dengan pL merupakan bilangan prima terakhir. Selanjutnya bentuklah bilangan seperti berikut.

                              N = p1.p2.p3...pL + 1

Berdasarkan uraian sebelumnya kita tahu bahwa bilangan N dapat merupakan bilangan prima atau dapat difaktorkan menjadi bilangan prima, dan dalam kasus terakhir berarti memiliki faktor prima, p. Bilangan N tidak mungkin merupakan bilanga prima, karena lebih besar dari pL yang merupakan bilangan prima terbesar. Jadi, haruslah N dapat difaktorkan menjadi bilangan prima yang memiliki faktor prima p. Tetapi p harus merupakan salah satu bilangan prima pada perkalian p1.p2.p3...pL karena ini kita andaikan sebagai daftar semua faktor prima. Dengan demikian, p1.p2.p3...pL habis dibagi p.

Selanjutnya, karena N habis dibagi p, demikian pula dengan p1.p2.p3...pL, maka selisihnya, yaitu N - p1.p2.p3...pL juga habis dibagi p. Tetapi dari N = p1.p2.p3...pL + 1 dapat kita ketahui bahwa N - p1.p2.p3...pL = 1. Ini berarti 1 habis dibagi p. Bagaimana ini bisa terjadi karena bilangan prima p lebih dari 1? Pengandaian bahwa banyak bilangan prima beringga mengakibatkan kontradiksi bahwa p harus membagi 1. Pengandaian salah, jadi haruslah banyak bilangan prima itu tak berhingga.

Sekarang kita kembali ke bukti teorema, bahwa “Jika bilangan prima p habis membagi hasil kali ab, maka bilangan prima p harus membagi a atau b”, yang kita janjikan di awal. Tetapi sebelumnya kita harus membuktikan sesuatu yang berkaitan. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa ketika kita memfaktorkan sebuah bilangan prima, faktorisasinya adalah unik. Hal ini setara dengan “Jika terdapat bilangan terkecil N yang dapat difaktorkan menjadi bilangan prima dengan dua cara berbeda, maka bilangan prima apapun dalam faktorisasi N tidak akan terdapat pada faktorisasi N lainnya”.

Kita akan membuktikannya dengan kontradiksi. Ingat bahwa kita misalkan N mewakili bilangan terkecil yang dapat difaktorkan menjadi bilangan prima dengan dua cara berbeda. Misalkan dua cara pemfaktoran dari N adalah N = p1p2 ... pn dan N = q1q2 ... qk dan anggaplah kedua faktorisasi dari N itu memiliki faktor prima yang sama, yaitu p1. Selanjutnya kita atur bilangan prima dalam faktorisasi N sedemikian hingga p1 pada urutan pertama. Ini berarti, kita dapat mengasumsikan bahwa p1 = q1. Jadi, N = p1p2 ... pn dan N = p1q2 ... qk. Bagilah masing-masing dengan p1 sehingga diperoleh N/p1 = p2 ... pn dan N/p1 = q2 ... qk. Ini menunjukkan bahwa bilangan N/p1 dapat difaktorkan dengan dua cara berbeda, yaitu p2 ... pn dan q2 ... qk. Tetapi bilangan ini lebih kecil dari N, dan ini bertentangan dengan fakta bahwa N merupakan bilangan terkecil yang dapat difaktorkan dengan dua cara berbeda. Kontradiksi ini muncul akibat pengandaian bahwa N dapat difaktorkan dengan dua cara berbeda dengan faktor prima yang sama. Ini menunjukkan bahwa, jika terdapat bilangan terkecil yang dapat difaktorkan dengan dua cara berbeda, keduanya tidak dapat memiliki faktor yang sama.

Teorema berikutnya, bahwa “Sebarang bilangan asli yang lebih dari 1 dapat difatorkan menjadi bilangan prima hanya dengan satu cara (mengabaikan urutan penulisannya)”. Kembali kita gunakan kontradiksi dalam pembuktian ini, dan andaikan tidak demikian adanya. Ini berarti, terdapat beberapa bilangan asli yang tidak dapat difaktorkan hanya dengan satu cara. Sehingga harus ada bilangan asli terkecil yang tidak dapat difaktorkan menjadi bilangan prima hanya dengan satu cara, misalkan bilangan itu N. Berdasarkan uraian sebelumnya kita tahu bahwa N memiliki dua faktorisasi yang berbeda, yaitu misalkan N = p1p2 ... pn dan N = q1q2 ... qk dengan tidak ada p dan q yang sama. Dengan demikian p1 ¹ q1 dan misalkan p1 < q1. Kita akan membangun bilangan P yang lebih kecil dari N dengan dua faktorisasi berbeda, dan ini akan bertentangan dengan fakta bahwa N adalah bilangan terkecil.

Tetapkan P = (q1p1)q2 ... qk.

Pertama kita amati bahwa (q1p1) < q1. Selanjutnya kalikan kedua ruas pertidaksamaan dengan q2 ... qk tuntuk memperoleh:

(q1p1)q2 ... qk < q1q2 ... qk.

Karena (q1p1)q2 ... qk = P dan q1q2 ... qk = N, maka kita peroleh P = N.

Sampai di sini kita telah menunjukkan bahwa P < N. Sekarang kita akan menunjukkan bahwa P memiliki dua faktorisasi yang berbeda.

Faktorisasi pertama dari P seperti dinyatakan sebelumnya, yaitu P = (q1p1)q2 ... qk. Semua faktor dari q merupakan bilangan prima dan tidak ada satupun diantaranya p1, tetapi q1p1 mungkin bukan prima dan memiliki faktor p1. Jika q1p1 memiliki faktor p1, maka:

q1p1 = kp1

untuk suatu bilangan k, dan dengan menyelesaikannya untuk q1 diperoleh:

q1 = kp1 + p1 = (k + 1)p1.

Hal itu berarti q1 merupakan kelipatan dari bilangan prima p1. Tetapi ini merupakan hal yang tidak mungkin, karena q1 merupakan bilangan prima yang hanya memiliki faktor 1 dan dirinya sendiri. Jadi, faktorisasi P = (q1p1)q2 ... qk tidak memuat p1.

Selanjutnya kita cari faktorisasi P yang memuat p1. Berdasarkan hal ini dan mengingat bahwa faktorisasi P = (q1p1)q2 ... qk tidak memuat p1, akan memberikan kepada kita bahwa terdapat dua faktorisasi dari P yang merupakan kontradiksi yang kita cari. Kita mulai dengan menjabarkan persamaan,

P   = (q1p1)q2 ... qk

      = q1q2 ... qkp1q2 ... qk

      = Np1q2 ... qk (di awal kita tahu bahwa N = q1q2 ... qk)

      = p1p2 ... pkp1q2 ... qk (p1p2 ... pk merupakan faktorisasi lain dari N)

      = p1(p2 ... pkq2 ... qk)

Faktorisasi terakhir menunjukkan bahwa faktorisasi dari P memuat p1.

Sekarang mari kita rangkum. Di awal kita ambil bilangan terkecil N yang tidak memiliki faktorisasi unik, dan menghasilkan bilangan P yang lebih kecil yang tidak memiliki faktorisasi unik. Salah satu faktorisasi dari P = p1(p2 ... pkq2 ... qk) memuat faktor p1. Faktorisasi lainnya dari P = (q1p1)q2 ... qk tidak memuat faktor p1. Ini bertentangan dengan fakta bahwa N merupakan bilangan terkecil yang tidak memiliki faktorisasi unik. Kontradiksi ini muncul akibat dari asumsi bahwa ada beberapa bilangan yang tidak memiliki faktorisasi unik. Jadi, asumsi salah, dan ini menunjukkan bahwa semua bilangan asli lebih dari 1 dapat difaktorkan menjadi bilangan prima dengan cara yang unik.

Salah satu contoh penggunaan teorema terakhir adalah pada soal berikut: “Tunjukkan bahwa 2log 3 irasional”. Kita lakukan pembuktian ini dengan kontradiksi. Misalkan 2log 3 rasional, sehingga 2log 3 = a/b dengan a dan b bilangan bulat positif. Ini berarti bahwa 2a/b = 3 Selanjutnya pangkatkan kedua ruas dengan b untuk memperoleh 2a = 3b. Misalkan N2a = 3b. Ini berarti bilangan N dapat dinyatakan sebagai perkalian bilangan prima dengan dua cara berbeda. Faktorisasi pertama adalah perkalian dari 2, dan yang kedua adalah perkalian dari 3. Ini bertentangan dengan teorema 6, sehingga pengandaian bahwa 2log 3 rasional salah. Jadi, 2log 3 adalah irasional.

Alternatif bukti lainnya, yaitu bahwa pada persamaan 2a = 3b, kita melihat kontradiksi, karena ruas kiri persamaan merupakan bilangan genap, sedangkan ruas kanan merupakan bilangan ganjil.

Sekarang kita dapat membuktikan teorema bahwa “Jika bilangan prima p habis membagi hasil kali ab, maka bilangan prima p harus membagi a atau b”. Jika p habis membagi ab, maka pk = ab untuk suatu bilangan bulat k. Faktorkan kedua ruas persamaan itu menjadi bilangan prima. Karena hanya terdapat satu cara memfaktorkan suatu bilangan menjadi bilangan prima, dan p merupakan faktor pada ruas kiri persamaan, maka p juga harus merupakan faktor pada ruas kanan. Ini berarti, p harus merupakan faktor dari a atau b, dan selesailah pembuktian kita.

Jika a dan b merupakan bilangan positif yang tidak memiliki faktor prima yang sama, kita katakan a dan b relatif prima. Jadi, 8 = 23 dan 27 = 33 adalah relatif prima, karena keduanya tidak memiliki faktor prima yang sama. Hal yang sama berlaku untuk 18 dan 35 karena 18 = 2 x 32 dan 35 = 5 x 7. Jika bilangan rasional a/dalam bentuk paling sederhana, maka a dan b relatif prima.

Teorema terakhir pada bagian ini, adalah “Jika a dan b relatif prima dan jika a membagi kb untuk suatu bilangan bulat k, maka a harus membagi k”. Jika a membagi kb, maka semua faktor prima dari a membagi kb. Tetapi karena a dan b tidak memiliki faktor persekutuan (relatif prima), maka semua faktor prima dari a harus membagi k. Dan jika semua faktor prima dari a membagi k, maka k memuat semua faktor prima dari a dan karena itu merupakan kelipatan dari a. Jadi, a membagi k.

 

Artikel diadaptasi dan dimodifikasi dari “Basics of Number Theory” dalam buku “The Mathematics That Every Secondary School  Math Teacher Needs To Know”, Second Edition, Alan Sutan dan Alice F., Routledge, 2018, halaman 41 – 46.

INFO REDAKSI

Mulai saat ini, serial tulisan "Menjadi 'GOBLOK' Dalam Kesibukan" tayang juga di blog ini. Semua tulisan dalam serial ini diambil dari tulisan yang sama di catatan dan dinding facebook saya. Silahkan beri penilaian: Bermanfaat, Menarik, atau Menantang di bawah artikel yang sesuai. Bagi pengguna facebook masih tetap bisa membacanya melalui link: https://www.facebook.com/mr.yulitenan