GUGUR GUNUNG DI HGN
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas
secara mendalam tentang gugur gunung. Judul ini saya ambil dari salah satu gendhing
lancaran yang ditampilkan oleh kelompok karawitan MKKS SMP Kabupaten Magelang. Istilah
gugur gunung sendiri berasal dari kata dalam masyarakat Jawa yang berarti kerja
secara bersamaan tanpa imbalan apapun. Hal ini sangat sesuai dengan penampilan
karawitan MKKS SMP Kabupaten Magelang pada puncak acara peringatan HUT PGRI dan
Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Magelang beberapa waktu yang lalu.
Penampilan grup karawitan tersebut hanya disiapkan dalam waktu kurang lebih 2 (dua) bulan dengan semua personil yang sama sekali tidak memiliki bekal tentang seni tersebut.
Hal inilah yang membuat ketua MKKS menyampaikan kalimat, “nyuwun pangapunten jane menika dereng wayahe pentas …” (mohon maaf sebenarnya ini belum waktunya pentas), sebagai pengantar sebelum grup karawitan menampilkan gendhing pertama yang telah disiapkan, gugur gunung.
Candaan ketua MKKS dilanjut dengan menyebut beberapa personil untuk mencairkan
suasana anggota grup yang nampaknya dijalari demam panggung.
Dengan gaya dan logatnya yang khas sang ketua menyampaikan, “niku sik nylenthem niku nggih namung modal brengos kandel mawon” (itu yang memegang slenthem juga cuma modal kumis tebal saja).
Dilanjutkan kalimat, “niku komandhane mangkih nek kleru nggih pancen nembe ngaten menika sagetipun” (itu komandannya kalau salah ya memang baru seperti itu bisanya), yang ditujukan untuk personil yang memegang kendhang.
Prolog sang ketua ditutup dengan kalimat, “pokoke niki boten pentas
nggih, namung pindah latihan mawon, nek onten klerune nggih teko damel
lucu-lucuan mawon” (pokoknya ini bukan pentas ya, cuma pindah tempat latihan saja,
kalau ada kesalahannya anggap saja sebagai lelucon saja).
Sesaat kemudian mulailah suara gamelan
mengalun mengiringi gendhing pertama, lancaran gugur gunung, dilanjutkan
ketawang ibu pertiwi, kemudian ojo dipleroki, dan ditutup dengan prau layar. Penyajian
gendhing tersebut terurut sesuai dengan waktu mempelajarinya. Gendhing pertama relatif
lancar dan kompak, tetapi pada gendhing kedua sejak mulai buka sudah terjadi sedikit
kesalahan dan ini berpengaruh hingga akhir gendhing disajikan, tetapi dari segi
pukulan terhadap alat masih cukup berani dan percaya diri. Pada gendhing ketiga
dan keempat nampak kurang greng karena terasa ada beberapa gamelan yang tidak
dithuthuk secara optimal, dikarenakan personil yang memegangnya merasa sedikit
kurang percaya diri, kawatir salah.
Terlepas dari berbagai kekurangan tersebut, patut diapresiasi keberanian semua personil anggota karawitan, yang semuanya kepala sekolah SMP, dan tidak memiliki modal pengetahuan cukup tentang karawitan.
Saat selesai gladi bersih mencoba alat pada siang harinya, bahkan seorang personil karawitan yang akan mengiringi sajian wayang kulit malam harinya berkomentar, “boten napa-napa, sae niku, kagem nyemangati sik enom-enom ben dho gelem nguri-uri kabudayaan” (tidak apa-apa, bagus, untuk memotivasi yang muda agar mau melestarikan budaya).
Hal itu terlontar saat mendengar keluh kesah beberapa
personil karawitan MKKS yang merasa masih melakukan kesalahan, baik dalam nuthuk
gamelan maupun nembang.
Disamping keberanian juga perlu diapresiasi terkait dengan semangat untuk berlatih untuk bisa tampil memeriahkan peringatan HUT PGRI dan HGN, yang tidak lain adalah harinya mereka sendiri. Di tengah-tengah kesibukannya melaksanakan tupoksi sebagai kepala sekolah, masih menyempatkan diri setiap minggu sekali (belakangan menjadi seminggu dua kali saat mendekati hari pelaksanaan) untuk berkomitmen berlatih. Hal inilah yang mengeliminir berbagai kekurangan yang ada. Bahkan mereka menyatakan tidak malu dengan berbagai kekurangan tersebut, karena semua masih dalam proses belajar.
Secara kelakar mereka mengatakan, “sik isin lak gurune, nek muride ki ra dho duwe isin” (yang malu kan gurunya, kalau muridnya gak punya malu).
Tentu saja kalimat itu hanyalah kelakar untuk menghilangkan rasa
grogi dan demam panggung. Kondisi yang sebenarnya semua personil sangat
menghormati gurunya, Pak Narto (begitu biasa kita memanggil), yang juga seorang
kepala sekolah salah satu SMP di Kabupaten Magelang.