Perjalanan filsafatku...
Manusia
merupakan makhluk Tuhan yang dikaruniai pikiran. Inilah salah satu
keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya.
Dengan karunia itu manusia memiliki kemampuan untuk berpikir mengenai
semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupannya. Manusia memiliki
kemampuan “meragukan” segala sesuatu, mampu
”bertanya”, mampu ”menghubungkan” gagasan-gagasan, dan mampu membuat
sebuah ”kesimpulan” dalam kegiatan berpikirnya. Dengan kemampuan
berpikir ini manusia mampu membangun dan mengembangkan pengetahuannya.
Untuk keperluan inilah semua manusia memerlukan matematika dan
pendidikan. Begitu diperlukannya matematika dalam kehidupan, maka
seorang ibu sudah mulai mengenalkan matematika kepada putra-putrinya
sejak bayi. Seorang ibu yang sedang menggendong bayinya yang mungkin
masih berumur 1 tahun atau bahkan kurang dari itu mulai mengajarkan
pengetahuan sederhana kepada bayinya. Yang pertama diajarkannya adalah
pengetahuan tentang ”bahasa” melalui panggilan-panggilan untuk
orang-orang terdekatnya, seperti ”ayah/bapak/papa”, ”ibu/mama”,
”kakak/adik”, mbah/eyang” dan sebagainya. Selanjutnya yang kedua
diajarkan seorang ibu kepada bayinya adalah ”matematika” melalui
pengenalan bilangan ”satu, dua, tiga” atau ”setunggal, kalih, tigo” dan
seterusnya. Setelah dua ha tersebut, yaitu ”bahasa” dan ”matematika”
baru kemudian sang bayi akan diajarkan hal-hal lainnya. Sejak itulah
manusia mulai mengenyam pendidikannya sebelum ia mengenyam pendidikan
secara formal (di sekolah) maupun non formal di dalam masyarkat. Dengan
demikian, sejak manusia dilahirkan, sejak itu pula mulai menggunakan
pikirannya untuk berpikir dalam rangka membangun dan mengembangkan
pengetehuannya untuk mencapai tujuan hidupnya. Itulah sebenarnya
perjalanan filsafat seorang manusia sesuai dengan dimensi ruang dan
waktunya.
Filsafat
adalah sebuah kegiatan “refleksi", yang dalam kenyataannya bermakna
sangat luas melebihi singkatnya kalimat itu. Luasnya makna filsafat
tidak terlepas dari obyek filsafat itu, yaitu semua yang ada dan yang
mungkin ada. Refleksi terhadap semua yang ada menjadi bahan pertimbangan
untuk tindakan selanjutnya (yang mungkin ada). Hasil refleksi dari kegiatan berfilsafat menjadikan kita lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek lebih dari sekedar yang kita lihat.
Kapan dan di mana kita harus melakukan atau tidak melakukannya selalu
kita refleksi berdasarkan aturan, pengalaman, dan prinsip tertentu.
Jadi, berfilsafat tidak lain adalah sebuah aktifitas untuk mendekati
suatu keadaan yang disebut harmoni (setimbang) dalam kehidupan. Agar
kegiatan refleksi itu membuahkan hasil yang baik dan bermanfat, maka
dalam berfilsafat (refleksi) harus dilakukan secara total, yaitu dengan
penuh kesadaran, mendasar, dan menyeluruh dengan memperhatikan ruang dan
waktu.
Selama
hidupnya setiap manusia pasti berpikir. Hasil pikirannya bisa berupa
ucapan, tulisan, maupun perbuatan atau tindakan. Agar buah pikiran itu
bergerak menuju ke yang lebih baik seiring dengan berubahnya ruang dan
waktu, mutlak diperlukan sebuah refleksi dalam ruang dan waktu yang
bersesuaian. Dengan demikian dalam hidup dan kehidupannya manusia tidak
bisa lepas dari filsafat. Diriku, sebagai bagian dari itu pun dalam
hidup dan kehidupan ini tidak bisa lepas dari filsafat. Apa yang saya
pikirkan, ucapkan, tulis, dan lakukan tidak lain adalah perjalanan
filsafat sesuai dengan dimensi yang ada. Diriku adalah subyek sekaligus
obyek dalam filsafat. Sebagai subyek karena terkait langsung dengan
kegiatan berpikir yang tidak lain adalah filsafat itu sendiri, sedangkan
sebagai obyek karena merupakan salah satu bagian kecil dari obyek
filsafat yang mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada.
Matematika
dan filsafat memiliki hubungan yang cukup erat dibandingkan dengan
ilmu-ilmu lainnya. Filsafat merupakan dasar untuk mempelajari ilmu dan
matematika merupakan ratu sekligus pelayan dari ilmu. Keduanya juga
sama-sama bersifat apriori, mempunyai obyek abstrak (di alam pikir) dan
tidak eksperimentalis, disamping itu hasil dari keduanya tidak
memerlukan bukti secara fisik.
Pertanyaan
sederhana tentang “apakah matematika itu?” adalah salah satu contoh
pertanyaan filsafat yang berkaitan dengan hakekat atau ontologi. Jawaban
atas pertanyaan itu tidak tunggal. Bahkan ada pendapat yang mengatakan
bahwa jawaban atas pertanyaan itu adalah sebanyak yang menjawabnya.
Namun demikian, beragamnya jawaban itu dapat dikelompokkan menjadi 3
(tiga) aliran sesuai dengan hasil pemikiran para ahli (flsuf) yang sudah
sejak abad 19 yang lalu memikirkannya. Ketiga aliran itu adalah: 1) Formalism,
yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943) seorang matematikawan
Jerman. Bagi pengikut aliran ini, matematika merupkan sebuah pengethuan
tentang struktur formal dari lambang (simbol). Aliran ini menekankan
konsistensi matematika sebagai bahasa simbol; 2) Logicism,
yang berpendapat bahwa semua matematika dapat diturunkan dari
prinsip-prinsip logika. Dengan kata lain, aliran ini mengatakan bahwa
matematika merupakan cara berpikir logis yang benar atau salahnya dapat
ditentukan tanpa bukti empiris. Tokoh dalam aliran ini yang juga seorang
ahli filsafat disamping matematikawan adalah Bertrand Russel
(1872-1970) dan Alfred North Whitehead (1861-1947), berasal dari
Inggris; 3) Intuisionism,
dengan tokoh seorang matematkawan Belanda Luitzen Egbertus Jan Brouwer
(1881-1966). Menurut pengikut aliran ini, matemtika berasl dan berkembng
did lam pikiran manusia. Aliran ini sejalan dengan pendapat Imanuel
Kant (1724-1804) yang menyatakan bahwa mateatika merupakan pengetahuan
yang eksistensinya tergantung pada pengalaman.
Pendidikan
sudah dilakukan sejak kita berada dalam lingkungan keluarga, mulai dari
belajar berkomunikasi hingga belajar tentang tanggungjawab. Tiga pilar
filsafat yaitu apa, bagaimana, dan mengapa kita melakukan sesuatu sudah
mulai dipelajarai secara sederhana dengan semangat kebersamaan dalam
lingkungan keluarga. Pertanyaan seorang anak kecil tentang apa,
bagaimana, dan mengapa seseorang bisa sakit adalah salah satu contoh
pertanyaan filsafat seorang anak yang disampaikan secara lugas dan
sederhana namun tidak mudah untuk menjawabnya. Pendidikan di lingkungan
keluarga ini menyiapkan kita untuk mengikuti pendidikan di level
berikutnya, yaitu di lingkungan masyarakat sekitar secara formal
(sekolah) ataupun non formal (di luar sekolah). Di dalam dua lingkungan
itulah sebenarnya kita menempuh pendidikan, disamping secara formal
melalui bangku sekolah yang hanya sebentar dan sangat terbatas.
Secara
formal, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Dari pengertian ini tampak bahwan di dalamnya memuat
faktor-faktor yang menunjukkan adanya aktifitas berfilsafat, yaitu usaha
sadar, mengembangkan potensi diri, pengendalian diri, kepribadian, dan
spiritual keagamaan. Pendidikan tidak lain adalah sebuah aktifitas
seseorang berfilsafat dengan tujuan mengembangkan potensi diri agar
memiliki kekuatan spiritual, kepribadian, dan kemampuan mengendalikan
diri.
Pendidikan
secara fomal memiliki 4 (empat) pilar, yaitu: 1) belajar untuk
memahami; 2) belajar untuk berbuat kreatif; 3) belajar untuk hidup
bersama; dan 4) belajar untuk membangun dan mengekspresikan jati diri.
Pilar pertama yaitu memahami, memuat makna bahwa belajar harus mampu
menjawab 3 pertanyaan mendasar: apa?, bagaimana?, dan mengapa? yang
tidak lain dalam filsafat kita kenal sebagai ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Pilar kedua yaitu kreatif, menyiratkan bahwa salah satu
hasil belajar adalah dimilikinya daya cipta (kemampuan untuk
menciptakan) sebagai penerapan dari apa yang telah dipelajarinya. Pilar
yang ketiga adalah hidup bersma, menyiratkan bahwa disamping memiliki
daya cipta, hasil belajar juga harus meningkatkan kemampuan seseorang
untuk hidup bersama dalam masyarakat luas, saling membantu, menghargai
antara satu anggota dengan anggota masyarakat lainnya. Yang terakhir,
hasil belajar terlihat dari terbangunnya jati diri pebelajar sesuai
dengan pilar keempat yaitu membangun dan mengekspresikan jati diri.
Dengan jati diri yang kuat, akan memperkokoh fondasi bangsa, sehingga
tidak akan mudah ”dijajah” oleh bangsa lain, karena memiliki karakter
pribadi dan budaya yang kuat.
Seperti
halnya manusia dan filsafat, matematika dan filsafat, pendidikan dan
filsafat juga merupakan dua hal yang tidak bisa sling lepas. Pendidikan
mutlak membutuhkan dasar filosofis. Dengan dasar filosofis yang kuat dan
jelas, akan memperjelas arah dan tujuan yang akan dicapai dalam
pendidikan, sehingga prosesnya pun tidak akan menyimpang dari arah dan
tujuan yang akan dicapai. Pendidikan tanpa dasar filosofis dapat
diibaratkan seperti seseorang yang berjalan ditempat yang asing dalam
keadaan gelap, sehingga besar kemungkinan akan melewati jalan-jalan yang
semestinya tidak dilewati. Jika hal itu terjadi dalam dunia pendidikan,
maka yang timbul adalah ”perampasan” hak-hak peserta didik untuk
memahami, kreatif, hidup bersama dan membangun jati dirinya. Sebaliknya
dalam berfilsafat juga dibutuhkan pendidikan. Tanpa pendidikan, kegiatan
berfilsafat kita bisa masuk dalam ruang dan waktu yang salah/tidak
sesuai, yang bisa mengakibatkan diperolehnya hasil yang tidak lebih baik
dari sebelumnya sesuai dengan tujuan berfilsfat.
Datar Bacaan:
- Depdiknas. 2002. Ilmu Filsafat. Dirjen Dikdasmen-Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis. Jakarta.
- -------------. 2004. Matematika (Materi Pelatihan Terintegrasi). Dirjen Dikdasmen-Direktorat Pendidikan Lanjutan pertama. Jakarta.
- Marsigit. Hubungan antara Filsafat dan Matematika. http://marsigitphilosophy.blogspot.com/2008/12/hubungan-antara-filsafat-dan-matematika.html, diakses tanggal 12 Desember 2011