Oleh: Yuliyanto
Bagi bangsa Indonesia, Sepuluh November memiliki nilai sejarah tersendiri. Hal ini karena pada tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Pahlawan melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tertanggal 16 Desember 1959. Pertempuran Surabaya yang melibatkan para tentara Indonesia dalam melawan penjajah merupakan hal yang melatarbelakangi penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan.
Tanpa bermaksud mengesampingkan hari bersejarah tersebut, dalam tulisan ini saya akan fokus pada catatan tentang perjalanan pengabdian yang secara kebetulan terjadi bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan Sepuluh November. Hal ini berkaitan dengan ditetapkannya sebuah keputusan tentang alih tugas sebagai bagian dari perjalanan pengabdian ini. Seperti waktu sebelumnya acara pembacaan keputusan tersebut didahului dengan penerbitan dan penyampaian undangan yang dilakukan secara mendadak mendekati hari pelaksanaan.
Kali ini pun demikian, undangan untuk acara tersebut beredar sehari sebelumnya dimana pada saat itu tidak ada tanda-tanda atau firasat khusus akan ada peristiwa itu, walaupun dalam beberapa waktu sebelumnya telah menjadi bahan pembicaraan oleh beberapa kalangan. Demikian pula dengan yang saya alami, waktu itu saya pun melaksanakan aktivitas seperti biasa. Sesuai dengan agenda yang telah direncanakan, pagi hari saya memenuhinya di tempat pertama dimana telah memasuki tahun keempat saya ditugaskan. Siang harinya saya pun memenuhi agenda yang sama yang telah direncanakan di tempat tugas kedua dimana saya diberikan tugas tambahan sejak lima bulan sebelumnya.
Hampir selama kegiatan di tempat kedua itu saya tidak membuka gadget, agar bisa lebih fokus pada kegiatan saat itu. Begitu selesai melaksanakan kegiatan baru saya mulai membuka gadget, dan ternyata telah banyak informasi melalui pesan masuk dan bahkan beberapa panggilan yang tidak terjawab. Hampir semua berisi tentang hal yang sama, yaitu informasi berkaitan dengan undangan pelantikan yang akan dilaksanakan pada tanggal Sepuluh November esok harinya.
Tidak ada perasaan ataupun pikiran yang istimewa terlintas pada saat itu. Bahkan ketika seorang guru yang saat ini menjadi teman sejawat mengirimkan pesannya, “Selamat Pak ... semoga amanah dan berkah di ....” dengan menyebut sebuah tempat di mana saya pernah mengabdikan diri sekitar empat tahun silam. Merespon pesan tersebut saya pun menjawab singkat, “Weh ... saya belum tahu Pak”, dan beliau pun membalasnya lagi dengan penuh keyakinan, “Feeling saya Pak ... semoga pas begitu”. Kemudian saya pun mengakhiri pembicaraan dengan mengirimkan pesan, “Saya masih harus banyak belajar dengan Njenengan dan para senior lainnya”.
Sepuluh November keesokan harinya kami memenuhi undangan sesuai ketentuan yang tercantum di dalamnya. Hampir sepanjang acara tidak ada peserta yang mengakses gadget, disamping memang dilarang oleh panitia semua khusyu mendengarkan proses pembacaan keputusan. Sesaat setelah proses selesai, tanpa ada komando pun semua mulai mengakses gadget masing-masing. Seperti biasa terjadi, peristiwa ini pun memunculkan dua suasana yang berbeda, sedih dan gembira. Nuansa baper pun mulai mewarnai sesaat setelah pembacaan keputusan tersebut.
Salah seorang teman di tempat yang baru sekitar lima bulan saya berada di situ, mengirimkan pesan whatsapp dengan tiga huruf saja, “Pak”. Saya pun hanya membacanya tanpa merespon lebih lanjut saat itu. Yang ada di pikiran saya harus segera pulang, bukan karena sedih atau gembira tetapi karena kebetulan waktu itu saya secara fisik baru kurang fit kondisinya.
Setelah istirahat dan kondisi badan memungkinkan baru saya mencoba merespon pesan teman tersebut. Itu pun saya lakukan dengan sangat singkat, “Pripun Bu?”, mencoba memastikan apa maksud dari pesan tiga huruf yang sebelumnya dikirim. Hampir sekitar empat jam baru dia menjawab dengan icon orang menangis diikuti beberapa kalimat yang menggambarkan perasaan baper-nya. “Dingapunten, tasih speechless kulo Pak. Dan kembali untuk yang ketiga kalinya, saya minta ijin suami untuk diperbolehkan kalau tiba-tiba menangis ...”.
Saya pun mulai terbawa ke nuansa baper, tetapi saya berusaha merespon dengan kalimat yang mendinginkan suasana.
Ya
Bu ...
Perasaan
saya pun sama di hati yang paling dalam ...
Sama
sekali tidak pernah berpikir akan secepat ini ...
Yang
saya pikirkan ketika ada undangan adalah hanya pengukuhan saja untuk definitif
di tempat ini ...
Tapi
semua di luar kemampuan saya (kita) ...
Semua
pasti akan membawa hikmah terbaik dari-Nya ...
Kita
semua akan tetap menjadi bagian dari keluarga ...
Walaupun
jauh (secara fisik) tetapi ikatan keluarga akan mendekatkan kita semua ...
Tetap
semangat berkarya untuk anak-anak bangsa ...
Demikian saya membalas cukup panjang agar suasana menjadi netral kembali. Seperti tidak atau belum menerima jawaban saya, dia pun membalas lagi, “it’s so hard to say that I’m okay, I am really really down ... Need much time to rise up, Pak. And I believe many friends in here feel the same”.
Hari pun terus berganti dan tibalah saatnya secara kedinasan saya harus berpamitan untuk segera digantikan dengan yang baru masuk. Melalui grup kedinasan saya sampaikan kalimat cukup panjang dan formal.
Bapak/Ibu Guru dan Karyawan yang saya hormati ...
Dengan telah berakhirnya masa bakti kedinasan saya, dan
telah dilaksanakannya serah terima jabatan, dengan segala kerendahan hati tanpa
mengurangi rasa kekeluargaan yang telah terbangun selama ini, mohon ijin saya
keluar dari grup kedinasan ini, untuk selanjutnya digantikan oleh yang baru.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya untuk
seluruh Bapak/Ibu yang selama ini telah berjuang bersama dalam bingkai
komunikasi dan kolaborasi yang sangat baik.
Mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan saya
dan keluarga selama ini.
Saya tetap merasa menjadi bagian dari keluarga besar
ini dan masih sangat terbuka untuk tetap memperkuat sillaturrahim melalui cara
dan media yang lain.
Selamat melanjutkan perjuangan Bpak/Ibu semua. Semoga
senantiasa sehat, kompak, dan sukses dalam setiap kegiatan. Aamiin ...
Beberapa saat kemudian saya pun keluar dari grup kedinasaan. Sempat beberapa teman merespon kalimat saya dengan kalimat yang bernuansa hampir sama. Berikut ini beberapa yang sempat saya baca dan dokumentasikan.
“Terima kasih bimbingan, arahan, dan kerjasamanya.
Mohon maaf atas salah dan khilaf. Semoga Bapak pinaringan sehat dan sukses dalam menjalankan tugas, memimpin di
tempat yang baru”.
“Terima kasih
Pak Yuli, semoga makin sukses dan sehat selalu”.
“Matur nuwun atas segala bimbingan dan ilmu yng Bapak
tularkan kepada kami. Semoga Bapak selalu diberikan kesehatan dan kesuksesan.
Mohon maaf khilaf yang disengaja maupun tidak disengaja. Doa kami menyertai
Bapak”.
“Terima kasih bimbingannya Pak Yuli. Mohon maaf atas
segala kesalahan kami. Semoga Bapak diberikan kesehatan dan kesuksesan di
manapun berada”.
“Terima kasih untuk tiga tahunnya Pak. Mohon maaf jika
ada salah dan khilaf kami, semoga Bapak dan keluarga selalu dalam
lindungan-Nya, dan selalu dimudahkan segala urusannya di manapun Bapak
bertugas. Aamiin”.
Ada pula yang mengekspresikan dengan cara lain, tidak menyampaikannya melalui pesan di grup atau japri, tetapi memasangnya di status whatsapp, “Walau singkat tetapi sangat bermakna. Terima kasih atas ilmu, motivasi, dan arahannya, semoga selalu sukses di tempat yang baru”. Sebenar-benarnya, saya bahkan tidak pernah merasa melakukan hal-hal seperti diungkapkan oleh beberapa teman seperti dalam kalimat-kalimat tersebut.
Semoga hal itu menjadi penanda bahwa jalinan sillaturrahiim dan ikatan kekeluargaan masih dan akan tetap terus ada tanpa dipengaruhi oleh dimensi jarak dan waktu. Karena sesungguhnya hal tersebut merupakan hal biasa bagi seorang pengabdi negara. Saya tutup catatan ini dengan kutipan pesan salah seorang anggota komite merespon kalimat yang juga saya sampaikan kepadanya.
Yth. Bapak Yuliyanto ...
Mutasi adalah hal yang wajar bagi seorang pegawai.
Saya yakin Pak Yuli mutasi karena prestasi yang telah
diraih dan juga karena kepentingan dinas.
Untuk itu kami mengucapkan selamat berjuang di tempat
yang baru.
Saya doakan semoga kerasan
kewarasan dan membawa perubahan yang lebih baik di tempat yang baru.
Hubungan yang selama ini terjalin semata-mata karena
panggilan hati yang tulus kita sebagai umat beragama dan adanya komitmen untuk
menyumbangkan tenaga dan pikirannya sebagai komite.
Walau kami sudah berusana untuk yang terbaik, tetap ada
dan banyak kekurangannya, untuk itu kami mohon maaf.
Mari kita jalin komunikasi yang lebih baik biar
terwujud pertemanan dan persaudaraan yang langgeng.
Selagi masih mampu dan masih dibutuhkan InsyaAllah kami
tetap akan menyumbangkan tenaga dan pikiran kami untuk kemajuan sekolah.
Semoga kita selalu diberikan keimanan,kesehatan, dan
kesuksesan yang diridhoi Allah. Aamiin ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar