TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG KE "PRO EDUKASI"

29 November 2020

GURU SADAR LITERASI

Oleh: Yuliyanto


Kata “literasi” berasal dari istilah latin literatus, artinya orang yang belajar. Adapun kata sadar berarti tahu dan mengerti. Merujuk pada pengertian ini maka yang dimaksud guru sadar literasi adalah guru yang mengetahui dan mengerti tentang belajar, sehingga dia akan selalu dan terus belajar. Tuntutan perkembangan jaman dan teknologi menuntut guru untuk berbuat demikian dalam rangka memperluas wawasan dan pengetahuannya. Hal ini terutama dalam rangka mengembangkan kemampuannya dalam melaksanakan tupoksi proses pembelajaran (merencanakan, melaksanakan, dan menilai), membimbing dan melatih serta melaksanakan tugas lain yang relevan.


Sumber: Koleksi pribadi

Guru sadar literasi sangat sesuai dengan pernyataan, bahwa “guru sejati adalah guru yang tidak pernah berhenti menjadi murid”. Hal ini memuat makna bahwa seorang guru dituntut untuk terus belajar mengikuti tuntutan perkembangan jaman dan teknologi pada masanya. Cakupan belajar di sini meliputi banyak hal, seperti membaca, menulis, berbicara, berhitung, dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tupoksinya. Jika tidak demikian maka guru akan kalah selangkah atau beberapa langkah dengan muridnya atau guru lain sebagai teman sejawatnya yang senantiasa belajar dalam upaya mengembangkan kemampuannya.

Dalam kondisi tertentu kesadaran tersebut harus ditumbuhkan di kalangan guru. Diakui atau tidak kondisi macetnya banyak guru dalam proses kenaikan pangkatnya, salah satu faktor penyebabnya adalah belum atau kurang adanya kesadaran literasi guru. Setidaknya hal ini yang terjadi di lingkungan sekitar saya. Berdasarkan pengamatan dan data yang ada, banyak guru yang bertahan pada pangkat dan golongan tertentu hingga puluhun tahun. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini karena berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini, salah satu syarat wajib dalam usul kenaikan pangkat guru harus menyertakan komponen publikasi ilmiah dan karya inovasi (piki).

Komponen piki sangat erat hubungannya dengan literasi, yang di dalamnya memuat kemampuan membaca, menulis, dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Banyak permasalahan dalam pelaksanaan tupoksi yang sering hanya menjadi perbincangan saja. Anda mungkin pernah atau bahkan sering mendengar pernyataan seperti “kelas itu selalu ramai pada saat pelajaran”, atau “di kelas yang itu anak-anak kurang sekali motivasinya mengikuti pelajaran”, dan pernyataan-pernyataan sejenis yang pada intinya sebenarnya hal itu merupakan permasalahan yang harus diatasi oleh guru. Jika guru kemudian melakukan upaya-upaya tertentu untuk mengatasi permasalahan itu, dan menulisnya dengan kaidah tertentu maka akan menjadi sebuah karya ilmiah yang bisa dimanfaatkan sebagai salah satu kelengkapan usulan kenaikan pangkatnya.

Hal lain yang juga bisa dimanfaatkan oleh seorang guru yaitu tentang pengalamannya dalam melaksanakan tupoksi yang memiliki hasil dan dampak luar biasa. Setiap guru pasti memiliki pengalaman-pengalaman tertentu dalam melaksanakan tupoksinya. Dari sekian banyak pengalaman tersebut, satu atau beberapa diantaranya pasti ada yang memiliki dampak dan hasil yang luar biasa. Jika pengalaman yang seperti ini kemudian ditulis menggunakan kaidah tertentu, bisa menjadi sebuah karya ilmiah yang biasa kita kenal dengan praktik terbaik (best practice). Tulisan kategori ini pun dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bagian untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkatnya. Pun dengan berbagai jenis piki lainnya seperti tertuang dalam buku pedoman yang ada, seperti diktat atau modul, buku pedoman guru, artikel, dan masih banyak lagi lainnya.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar guru masih belum menyadari berbagai peluang yang bisa ditulis dan dimanfaatkan. Mengapa demikian? Banyak permasalahan yang diperbincangkan, banyak pengalaman yang sudah dilakukan, tetapi masih banyak teman guru yang belum mau atau mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan (ilmiah). Dalam kondisi yang demikian, perlu dilakukan upaya-upaya tertentu untuk membangun kesadaran guru akan pentingnya berliterasi, dalam arti terus dan selalu belajar untuk mengembangkan diri melalui berbagai kegiatan dan berbagai cara. Berkumpul dengan berbagai komunitas yang beranggotakan orang-orang yang memiliki kegemaran yang  bisa mengembalikan kesadaran dalam berliterasi perlu dilakukan. Mengapa demikian?

Berkumpul dengan komunitas yang literate seperti itu bisa menumbuhkan dan memperkuat motivasi untuk melakukan dan bersikap literate. Sikap ini akan membawa kita pada kondisi yang sama dengan anggota dalam komunitas tersebut. Awalnya mungkin akan merasa canggung dan tidak mudah untuk menyesuaikan dengan diskusi atau kegiatan yang dilakukan oleh anggota komunitas tersebut. Namun apabila kita bisa bertahan di dalamnya dan pelan-pelan terus mengikutinya, kita akan sampai pada keadaan yang setara atau bahkan mungkin melampauinya. Semangat, motivasi, dan keberanian kita untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan anggotanya akan terbangun melalui komunitas seperti itu.

Selain berkumpul dan berkawan dengan teman-teman dalam komunitas yang literate, kita juga harus banyak membaca. Oleh karenanya untuk menumbuhkan kesadaran berliterasi, kadangkala atau bahkan harus bagi kita untuk menyisikan seditkit dari yang kita miliki untuk membeli buku-buku yang menunjang. Salah seorang teman menyebutnya hal ini dengan istilah “jajan ora enak”. Dengan banyak membaca tentu wawasan dan pengetahuan kita akan semakin banyak pula. Hal tersebut sangat mungkin berpotensi menumbuhkan keinginan lainnya, seperti menulis untuk menuangkan ide-ide hasil sintesis dari apa yang dibacanya. Pun dengan berbagai kegiatan pendidikan dan latihan atau kegiatan lainnya yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan menulis sebagai salah satu bagian dari literasi, perlu kita ikuti agar pikiran kita segar kembali dan tumbuh idealisme-idealisme baru.

Guru sadar literasi merupakan sebuah keharusan yang perlu terus ditumbuhkan dan dikembangkan. Bagaimana mungkin budaya membaca bisa terbangun di kalangan murid, apabila kita (guru) tidak atau belum memiliki budaya itu. Pun dengan menulis, bagaimana mungkin budaya menulis bisa tumbuh dan berkembang di kalangan murid jika kita (guru) juga tidak atau belum memiliki budaya tersebut. Menjadi guru sadar literasi setidaknya akan menjadikan kita bisa menjadi contoh bagi murid dalam membangun lingkungan yang literate. Hal ini sangat sesuai dengan ungkapan bahwa, “sebuah contoh jauh lebih baik dari seribu nasehat”. Menjadi guru sadar literasi juga akan mendukung dan menguatkan gerakan membangun lingkungan pendidikan yang literate. Dengan demikian kritik masyarakat yang mengatakan bahwa “membangun budaya literasi dalam sistem yang tidak literate” tidak akan pernah ada lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INFO REDAKSI

Mulai saat ini, serial tulisan "Menjadi 'GOBLOK' Dalam Kesibukan" tayang juga di blog ini. Semua tulisan dalam serial ini diambil dari tulisan yang sama di catatan dan dinding facebook saya. Silahkan beri penilaian: Bermanfaat, Menarik, atau Menantang di bawah artikel yang sesuai. Bagi pengguna facebook masih tetap bisa membacanya melalui link: https://www.facebook.com/mr.yulitenan