Yuliyanto
Gencarnya pemberitaan tentang akan dilaksanakannya Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) membuat berbagai pihak yang terlibat langsung berupaya menyiapkan melalui berbagai cara. Seperti sudah diketahui dan mungkin dipahami oleh khalayak umum, bahwa AKM mengukur dua kompetensi mendasar, yaitu literasi membaca dan literasi numerasi. Merujuk pada buku “AKM dan Implikasinya pada Pembelajaran” yang diterbitkan oleh Kemdikbud, literasi membaca dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan merefleksikan berbagai jenis teks tertulis. Adapun literasi numerasi dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari.
Rencana awal, pemerintah akan melaksanakan AKM pada bulan April 2021 ini. Namun belakangan beredar informasi dari pemerintah bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut akan diundur pada bulan September 2021. Informasi ini hampir tidak menggoyahkan upaya berbagai pihak dalam menyiapkan pelaksanaan kegiatan tersebut. Berbagai webinar tentang AKM dan/ atau berbagai program lainnya di sekolah untuk menyambut AKM terus berlangsung dengan penuh gairah. Tawaran buku-buku tentang AKM dari berbagai penerbit pun mulai meramaikan pasaran. Pun di ruang-ruang guru tidak ketinggalan pembahasan dengan topik seputar literasi yang menjadi inti dari AKM.
Literasi, baik membaca maupun numerasi merupakan sebuah keterampilan. Seperti berbagai keterampilan lainnya, cara terbaik melatihnya adalah melalui kegiatan atau aktivitas yang berkaitan langsung dengan membaca dan/ atau numerasi. Keterampilan ini tidak bisa diwujudkan hanya dengan cara instan melalui metode drilling. Cara yang dipandang lebih tepat untuk mewujudkan hal ini yaitu melalui sebuah kegiatan pembiasaan atau habituasi. Hal ini sejalan dengan pendapat seorang nara sumber dalam sebuah webinar tentang AKM, menanggapi pertanyaan seorang peserta, bahwa “pembiasaan merupakan cara yang paling tepat untuk menyiapkan AKM”.
Lebih lanjut nara sumber itu menambahkan alasan mengapa kegiatan pembiasaan dipandang sebagai cara yang tepat mengadapi AKM. “Karena soal-soal AKM tidak berbasis kompetensi dasar (KD), tetapi berbasis tema”, demikian nara sumber yang juga sebagai salah seorang dari pusmenjar kemdikbud yang ikut menggagas lahirnya AKM tersebut menyampaikan secara jelas dan tegas. Hal ini bisa dimaknai bahwa soal-soal AKM kurang tepat disajikan dalam proses pembelajaran di kelas pada satu mata pelajaran tertentu saja. Proses pembelajaran di setiap mata pelajaran hanya sebagai jembatan untuk memfasilitasi siswa agar mampu menyelesaikan permasalahan berbasis tema dalam AKM, yaitu melalui pengintegrasian higher order thinking skills (HOTS) di dalamnya.
Pertanyaan yang mungkin muncul yaitu “pembiasaan seperti apa yang bisa menjawab tantangan AKM?” Menurut saya, gerakan literasi sekolah (GLS) merupakan jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan tersebut. Tentu saja, agar benar-benar dapat menjawab tantangan AKM, bentuk kegiatan dalam gerakan ini yang sejalan dengan tujuan dari AKM itu sendiri, yaitu untuk mengukur kemampuan listerasi membaca dan numerasi. Satuan pendidikan dapat merancang GLS ini melalui kegiatan pembiasaan, memanfaatkan waktu sekitar 15 – 30 menit sebelum proses pembelajaran jam pertama di kelas, dengan rutin setiap hari memberikan sebuah soal yang memnuhi kriteria soal AKM. Agar nuansa gerakan itu lebih kelihatan nyata, kegiatan ini dapat diatur dengan melibatkan guru dalam penyusunan soal, dan juga melakukan kegiatan pembiasaan seperti yang dilakukan oleh siswa. Lebih baik lagi jika kegiatan pembiasaan ini menjadi menu wajib bagi seluruh warga sekolah.
Alternatif bentuk kegiatan tersebut memiliki beberapa keuntungan, baik dari sisi siswa maupun guru. Dari sisi siswa, dengan setiap hari dibiasakan setiap pagi untuk mengerjakan sebuah soal, dalam waktu sebulan saja setidaknya mereka telah terlatih dan terbiasa membaca dan merefleksikannya dalam memcahkan permasalahan yang diajukan. Dengan demikian harapannya siswa akan menjadi terbiasa, yang pada akhirnya akan tumbuh menjadi sebuah budaya membaca dan merefleksikannya dalam bertindak untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Selain hal itu, pembiasaan pada waktu 15 – 30 menit sebelum mulai proses pembelajaran pada jam pertama ini akan mengondisikan kesiapan siswa untuk mengikuti proses pembelajaran pada jam pertama. Kondisi ini akan menjadi salah satu faktor positif keberhasilan proses pembelajaran hari itu. Ibarat seorang atlit olahraga yang akan bertanding, kegiatan tersebut merupakan sebuah kegiatan pemanasan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti cidera.
Selanjutnya pelibatan guru dalam kegiatan pembiasaan tersebut juga bisa berdampak positif dalam gerakan tersebut. Kegiatan penyiapan soal yang melibatkan seluruh guru dengan jadwal tertentu akan lebih cepat meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru terhadap soal-soal AKM. Adapun pelibatan guru dalam kegiatan pembiasaan seperti yang dilakukan siswa, akan meningkatkan keterampilannya dalam berliterasi dan berpikir tingkat tinggi (HOTS) yang menjadi salah satu keterampilan berpikir yang harus ditransfer kepada siswa. Akhirnya, peibatan guru dan siswa serta seluruh komponen satuan pendidikan itu, diharapkan dapat menumbuhkan budaya literasi yang tinggi, dan pada akhirnya akan menjelma menjadi sebuah sistem yang literate. Dengan demikian, sindiran seperti kalimat “gerakan literasi dalam sistem yang tidak literate” tidak akan pernah ada lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar