TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG KE "PRO EDUKASI"

04 September 2020

ABADIKAN DENGAN TULISAN

Oleh: Yuliyanto 


Tulisan merupakan hasil dari suatu kegiatan menulis, yang secara leksikal diartikan sebagai kegiatan melahirkan pikiran atau perasaan melalui tulisan. Menulis sendiri merupakan bagian dari keterampilan dalam bahasa disamping berbicara, menyimak, dan membaca. Karena merupakan sebuah keterampilan maka menulis pun tentu dapat dilatih seperti keterampilan-keterampilan lainnya. Seperti bermain bola harus dilatih dengan bermain bola, menulis pun harus dilatih dengan cara menulis. Setidaknya demikian yang saat ini terlintas dalam pikiran saya yang sedang mencoba terus belajar meningkatkan salah satu keterampilan bahasa ini.

Keberhasilan latihan, atau mungkin lebih tepat belajar menulis ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi yang di dalamnya memuat unsur tujuan. Merujuk pendapat Moch. Khoiri dalam paparannya “Menulis Dalam Kesibukan”, terdapat dua macam motivasi menulis ini, yaitu filosofis (untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau beramal) dan pragmatis (uang atau ketenaran). Namun bagi saya yang sedang memulai belajar ini, yang penting untuk menyalurkan hasrat menulis saja agar beban pikiran untuk menuangkan ide atau gagasan tersalurkan.

Sumber: Koleksi pribadi

Motivasi filosofis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mungkin terlalu kecil dan sempit bagi saya dengan bekal pengetahuan yang saya miliki. Oleh karenanya, jika harus menetapkan motivasi filosofis menulis ini, bagi saya lebih cenderung untuk beramal. Untuk motivasi pragmatis (uang dan ketenaran) saya justru akan terus berupaya menghindarinya. Uang dan ketenaran hanyalah dampak saja yang mungkin bisa timbul dari kegiatan ini, bukan tujuan yang harus diraih. Andai tidak berdampak seperti ini pun, ya ... tidak masalah. Untuk hal ini saya teringat sebuah nasehat orang tua dalam pepatah jawa “ojo golek jenang dhisik, nanging goleko jeneng”.

Uang dan ketenaran merupakan beberapa diantara makna yang tersirat dalam kata “jenang” pada pepatah jawa tersebut. Mengacu pada pepatah jawa tersebut, kita seharusnya mengutamakan “jeneng” terlebih dahulu, dan “jenang” pun akan bisa didapatkan sebagai dampaknya. Kata “Jeneng” (nama) dalam hal ini memuat makna kita harus melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya terlebih dahulu, apa pun kegiatan yang kita lakukan, termasuk dalam hal ini menulis. Disinilah perlunya kita berlatih sebanyak-banyaknya, agar seiring perjalanan waktu kelak dapat mencapai predikat bagus.

Permasalahannya, apakah dengan menulis sebanyak-banyaknya akan menjamin tulisan kita bisa jadi bagus? Tentu saja tidak demikian. Robert Southey, seperti dikutip Much. Khoiri dalam bukunya “Sapa Ora Sibuk” mengatakan bahwa “By writing much, one learns to write well” (Dengan menulis yang banyak, orang belajar keras untuk menulis dengan bagus). Kalimat terakhir dalam pernyataan ini yang menyiratkan tidak adanya jaminan menjadi bagus. Terdapat muatan peluang dalam kalimat tersebut, artinya dengan menulis yang banyak kita akan memiliki peluang yang besar untuk menghasilkan tulisan yang bagus.

Pertanyaan berikutnya yang mungkin timbul adalah “Berapa banyak harus menulis?”. Jawabannya adalah seratus. Apakah itu sebuah kepastian? Jawabannya adalah belum tentu. Hal ini sesuai pernyataan Edgar Rice Burroughs, seperti dikutip Moch. Khoiri dalam buku yang sama, bahwa “If you write one story, it may be bad; if you write a hundred, you have the odds in the favor” (Jika Anda menulis sebuah cerita, itu mungkin buruk; Jika Anda menulis seratus, Anda memiliki peluang yang menguntungkan). Hal ini berarti bahwa untuk dapat memiliki peluang bagus, kita jangan hanya melakukannya sekali, tetapi berkali-kali, dan mungkin itu bisa lebih dari seratus tulisan.

Berbicara kata “seratus” jadi teringat komentar salah seorang teman SMA saat saya mempublikasikan tulisan pertama berjudul “Belajar Di Masa Pandemik Covid-19”. Komentar dalam catatan facebook saya waktu itu “Nulis terus Pak, nek wis akeh tak terbitke wis” (Menulis terus Pak, kalau sudah banyak saya terbitkan). Komentar berlanjut saat saya menulis “Belajar Peduli Kepada Sesama”. Kali ini dia menyebut kuantitas, “Dikumpulke mas, nek wis genep 100 kirim emailku, diterbitke” (Dikumpulkan mas, kalau sudah genap 100 kirim emailku, diterbitkan). Kali ini saya baru memahami, bahwa bilangan 100 yang disampaikan oleh teman saya itu bukan tanpa alasan. Hal itu memuat makna bahwa saya harus menulis dan menulis, minimal 100 tulisan agar bisa berpeluang menjadi lebih bagus.

Saya termasuk kategori yang belum bisa dengan cepat menuangkan ide atau gagasan dalam bentuk tulisan. Nyatanya hingga saat saya menulis ini (hampir empat bulan) dari teman saya menyampaikan batas bilangan 100 belum bisa saya penuhi, bahkan separuhnya pun belum tercapai. Namun demikian saya tetap bersyukur, karena hingga saat saya membuat tulisan ini, hal itu tidak membuat saya putus asa. Bukan pada batas bilangan 100 yang saya pikirkan, tetapi kuantitas menulis sebanyak-banyaknya agar berpeluang bisa memperoleh kualitas tulisan yang bagus, seperti ungkapan Ray Bradbury: “Quantity produces quality” (Kuantitas menghasilkan kualitas).

Penilaian tentang kualitas tulisan bukanlah ranah kita (penulis), tetapi menjadi ranah pembaca. Dengan menilai sendiri tulisan yang kita buat sebelum sampai ke pembaca, hampir dipastikan kita akan menilainya “tidak bagus”. Apalagi kalau kita (yang sedang belajar) membandingkannya dengan tulisan-tulisan dari penulis-penulis yang sudah terkenal. Hal yang demikian justru berpotensi melemahkan keinginan untuk menulis. Maxwell Maltz seperti dikutip Amir Tengku Ramly dalam bukunya “Pumping Tallent” mengungkapkan yang intinya bahwa sebagian besar manusia merasa dirinya rendah dalam keahlian dan kemampuan. Oleh karena itu jangan pernah menilai tulisan kita sebelum dibaca orang lain. Tulis saja, lempar ke pembaca, dan lupakan. Bagus atau tidak kualitas tulisan kita, serahkan kepada para pembaca untuk menilainya.

Dengan begitu setidaknya kita telah mengabadikan ekspresi jiwa dan beban pikiran kita dalam sebuah tulisan. Apa yang kita pikirkan, kita katakan, dan kita lakukan semuanya akan hilang ditelan waktu. Salah satu cara mengabadikannya adalah dengan menulisnya. Bud Gardner mengatakan bahwa “When You speak, your words echo only across the room, or down the hall. But when you write, your words echo down the ages”, yang kurang lebih berarti “Saat Anda berbicara, kata-kata Anda hanya bergema di seluruh ruangan, atau di lorong. Tetapi ketika Anda menulis, kata-kata Anda bergema sepanjang zaman”. Oleh karenanya, abadikan semua yang kita pikirkan, katakan, dan kerjakan dengan tulisan.

3 komentar:

INFO REDAKSI

Mulai saat ini, serial tulisan "Menjadi 'GOBLOK' Dalam Kesibukan" tayang juga di blog ini. Semua tulisan dalam serial ini diambil dari tulisan yang sama di catatan dan dinding facebook saya. Silahkan beri penilaian: Bermanfaat, Menarik, atau Menantang di bawah artikel yang sesuai. Bagi pengguna facebook masih tetap bisa membacanya melalui link: https://www.facebook.com/mr.yulitenan