Oleh: Yuliyanto
Kata “cinta” identik dengan sesuatu yang serba menyenangkan untuk dirasakan, walaupun tidak selamanya demikian. Dalam konteks yang luas kata tersebut dapat juga mewujud dalam bentuk yang kurang atau tidak menyenangkan. Kita sebagai orang tua tentu sudah pernah dan bahkan mungkin sering mengejawantahkan cinta kita kepada anak-anak dalam bentuk yang demikian. Sebagai contoh ketika anak kita pada suatu ketika meminta sesuatu, tetapi menurut pertimbangan kita hal itu akan berpotensi membahayakan dirinya, tentu kita sebagai orang tua tentu tidak akan memenuhinya.
Dari sisi anak tentu hal yang demikian akan bisa mengakibatkan kekecewaan atau perasaan yang tidak menyenangkan. Tetapi dari kaca mata orang tua, hal tersebut merupakan salah satu wujud cinta kepada anaknya. Mengapa demikian? Karena tidak ada orang tua yang senang melihat anak-anaknya terjerumus dalam kehidupan yang membahayakan dirinya. Jadi, penolakan atau mungkin penangguhan terhadap permintaan anak yang dinilai berpotensi membahayakan itu bukan dengan maksud membuat anaknya kecewa dan tidak bahagia. Yang sesungguhnya dipikirkan dan diharapkan adalah sebaliknya, yaitu ingin membuat anak selamat, dan itu merupakan wujud cintanya kepada mereka.
Saya dan mungkin juga Anda yang sangat menyintai kendaraannya, pun kadang harus melakukan hal-hal tertentu sebagai wujud cintanya. Memandikannya sendiri atau di tempat pemandian kendaraan merupakan salah satu contoh wujud kita menyintainya. Andai kendaraan yang kita miliki bisa berbicara, tentu dia akan mengutarakan rasa senangnya diperlakukan seperti itu. Sebaliknya ketika kita merasakan ada sesuatu yang terjadi terhadap kendaraan kita, tentu kita akan segera membawanya ke bengkel untuk menyembuhkannya. Kembali kita berandai kendaraan kita bisa merasakannya, proses bongkar pasang yang mungkin terjadi dalam proses penyembuhan itu pasti dirasakannya tidak enak atau bahkan mungkin menyakitkan. Tetapi semua itu tetap kita lakukan sebagai bentuk cinta kita kepada kendaraan yang kita miliki.
Ibarat anak-anak, saya (juga Anda) mungkin saat ini sedang ditolak atau ditangguhkan permohonan kita kepada-Nya. Ditolak atau ditangguhkan untuk mengikuti berbagai aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya karena sakit atau halangan lainnya misalnya, merupakan salah satu teguran sebagai wujud cinta-Nya. Seperti anak-anak yang ditolak permintaanya oleh orang tuanya tadi, sangat mungkin kita merasa kecewa dan sedih karenanya. Tidak cukup ketinggian IQ (Intelligentan Quotinet) dan kepekaan EQ (Emotional Quotinet) untuk bisa mengangkap dan menikmati cinta-Nya. Dalam kondisi demikian, ketajaman SQ (Spiritual Quotient) kita diuji untuk mampu memahami cinta-Nya.
Sakit memang merupakan sesuatu yang tidak mengenakkan bagi siapapun. Tetapi melalui kondisi ini kita akan relatif lebih mudah untuk menangkap dan menikmati cinta-Nya, setidaknya hal itu yang berlaku bagi diri saya. Saya menjadi lebih dekat dengannya dengan doa-doa memohon kekuatan dan kesembuhan. Saya menjadi lebih bisa bersyukur atas nikmat sehat yang sebelumnya (dan nanti) telah (dan akan) dikaruniakan-Nya. Itulah yang sebenarnya harus kita nikmati di saat sakit sebagai wujud cinta-Nya, agar kita kembali mendekati-Nya dengan sabar dan bersyukur.
Lebih jauh lagi Dia memberikan rasa sakit itu adalah untuk membersihkan diri kita dari berbagai macam dosa yang telah kita lakukan. Untuk ini, seorang ustaz menyampaikan tafsir tentang hadis yang berkaitan dengan hal tersebut, bahwa “Orang yang terkena penyakit fisik, gundah gulana, susah hati sampai duri yang menusuk tapak kaki, sesungguhnya itu ada hikmah, yaitu Allah ingin menghapus segala dosa-dosanya”. Bahkan, lanjut ustaz itu menyampaikan sebuah hadis berikutnya, bahwa “Rintihan orang sakit tercatat sebagai tasbih, kegelisahan dan jeritannya sebagai tahlil, nafasnya seumpama sedekah, tidurnya sebagai ibadah ...” Bukankah ini semua karena cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya?
Akhirnya semua bergantung pada diri kita masing-masing. Bagi saya, dalam kondisi demikian akan terus berupaya untuk menangkapnya sebagai sebuah wujud cinta-Nya kepada kita dan menikmatinya dengan mencoba bersabar dan bersyukur. Tidak mudah memang, tetapi mengingat betapa mulia tujuan Dia memberikan semua itu kepada kita, tidak ada pilihan yang lebih baik bagi kita kecuali menikmatinya sebagai sebuah wujud cinta-Nya kepada kita sebagai hamba-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar