Pertemuan kembali setelah relatif lama tidak bertemu dengan seseorang yang pernah cukup dekat selalu memberikan perasaan senang tersendiri. Mungkin hal inilah salah satu yang melatarbelakangi beberapa kelompok mengadakan kegiatan reuni bagi anggotanya. Saling menceritakan kondisi masing-masing pada saat ini dan masa lalu ketika masih bersama-sama dalam kelompoknya menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan.
Seperti hari kemarin (Minggu, 6 September 2020) di luar dugaan saya dipertemukan kembali dengan sosok yang pernah cukup dekat dan hampir 27 tahun tidak saling berkomunikasi. Sekitar waktu habis Isya' saat saya sedang menyelesaikan tulisan “Menulis Dengan Gembira”, muncul notifikasi permintaan pertemanan di facebook dari akun dengan dengan nama “Ummi Win”. Seperti biasa saya lakukan, tidak langsung saya konfirmasi permintaan tersebut, tetapi saya coba cari tahu terlebih dahulu profilnya. Tidak saya temukan sesuatu yang menandai saya mengenal orang dengan akun tersebut. Akhirnya saya putuskan untuk membiarkannya, dan tidak saya konfirmasi dulu.
Selang beberapa menit saya melihat notifikasi akun tadi merespon dengan “jempol” tulisan pertama saya, “Belajar Di Masa Pandemik Covid-19” dalam serial “Menjadi GOBLOK Dalam Kesibukan”. Dengan asumsi bahwa pemilik akun itu mengenali saya, akhirnya saya putuskan untuk menerima permintaan pertemanan tadi. Jadilah kami berteman sejak saat itu. Tidak lama kemudian saya menerima inbox dari pemilik akun tadi dengan kalimat sedikit formal membuka pembicaraan, “Assalamu’alaikum ... Pa kabar Pak Boss?”, dan saya balas dengan formal juga, “Wa’alaikum salam. Alhamdulillaah baik”.
Sumber: https://www.facebook.com/friendship/1607426949/100009311839581 |
Di saat saya masih merasa belum ngeh juga siapa sebenarnya pemilik akun tersebut, kembali dia mengirim pesan lewat messenger. Kali ini dengan kalimat yang tidak formal, “Anak pinten?” Saya masih menjawabnya dengan formal, “Tiga. Saya kok lupa dengan wajah Njenengan”. Dan dikirimlah foto aslinya sebagai jawaban atas pertanyaan saya. Saya pun langsung mengenalinya dan membalasnya, “Mbak Win to? Dah puluhan tahun gak ketemu”. Beliau adalah salah seorang tetangga yang juga seorang sahabat dan saudara, sekaligus sosok “orang tua” yang sangat keibuan dan pernah mewarnai perjalanan hidup saya dengan berbagai nasihatnya. Saya memilih kata “Beliau” untuk menghormatinya sebagai sosok “orang tua” yang nasihat-nasihatnya sangat lembut dan menyentuh.
Seperti kebanyakan orang pada saat bertemu seseorang yang sudah lama tidak bertemu, pembicaraan pun seperti terus mengalir tidak berhenti, walau kali ini hanya melalui media sosial bertemunya. Masih menggunakan messenger, Beliau pun kembali mengirimkan pesan, “Selamat ya sekarang udah sukses, alhamdulillah ikut senang”. Saya pun langsung menjawabnya, “Aamiin, terima kasih. Mbak Win juga ...”. Seperti tidak mau putus pembicaraan saat itu, saya tambahkan sebuah kalimat “Ingat dulu sok curhat ro Mbak Win ...”. Dan seperti mengetahui apa yang ada dalam pikiran saya, Beliau pun menjawab, “Ntar yo, aku arep shalat dulu, nanti disambung”.
Lima belas menit kemudian, Beliau mengirim pesan messenger lagi. Kali ini dengan kalimat yang bernuansa memunculkan keakraban seperti dulu lagi, “Semoga bisa sukses dunia akhirat yo Yul. Mbak Win sebut nama aja ya”. Seperti gayung bersambut, saya pun langsung menanggapinya dengan membalas, “Iya Mbak. Aamiin ... Lebih enakan gitu Mbak”. Pembicaraan kita terus berlanjut tentang anak. Berapa anaknya sekarang, sekolah di mana, dan sebagainya. Hingga akhirnya setelah sekitar satu jam lebih kita ngobrol, Beliau mengakhiri dengan mengirim pesan yang disertai nomor kontaknya, “Besok disambung 08779779xxxx. Assalamu’alaikum”. Ketika saya membalasnya, “Wa’alaikum salam. Makasih Mbak Win ...”, Beliau sudah tidak menjawab lagi hingga pagi hari tadi dengan kalimat singkat “Sama-sama”.
Nomor kontak yang diberikan di akhir pembicaraan tadi segera saya simpan di daftar kontak, dan saya kirimkan pesan melalui whatsapp, “Ini nomor saya Mbak”, yang juga sudah tidak dijawab lagi. Esok hari tadi baru Beliau kembali menjawab pesan tersebut, “Iya. Mbak Win tu udah lama nyari medsosmu, ee semalam buka fb kok nongol. Alhamdulillah Allah udah mempertemukan”. Tampak memuat sebuah rasa syukur yang tulus dalam kalimat tersebut, seperti saya juga sangat senang dan menyukurinya bisa dipertemukan kembali dengan sosok yang pernah sangat dekat dengan nasihat-nasihat bijaknya.
Seharian ini kita tidak saling bercerita melalui media sosial lagi. Kami menikmati kesibukan masing-masing sebagai pengabdi di dunia pendidikan. Kebetulan hari ini juga, saya mendapat tugas mengikuti kegiatan nasional “Diskusi Kelompok Terpumpun Daring Penguatan Karakter” yang diselenggarakan oleh Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemdikbud. Menurut jadwal kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 7 – 16 September 2020. Untuk yang pertama hari ini meliputi provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Utara dengan total jumlah peserta sebanyak 206 orang terdiri dari Fasilitator Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dan Fasilitator Pendidikan Keluarga (Dikkel).
Sore ini kembali saya mencoba mengontak Mbak Win. Kali ini tidak melalui messenger tetapi melalui whatsapp. Saya membuka dengan, “Assalamu‘alaikum. Sungai Keruh itu Lampung ya Mbak?” Kebetulan salah satu peserta kegiatan tersebut pernah bersama pada kegiatan serupa setahun yang lalu, dan seingat saya berasal dari Lampung, daerah di mana sekarang Mbak Win tinggal. Dua menit kemudian Beliau pun menjawabnya lugas, “Wa’alaikum salam. Kayaknya belum pernah dengar tu. Di Lampung jarang ada sungai Yul”. Setelah saya cek di daftar undangan ternyata benar Mbak Win, karena teman saya itu berasal dari provinsi Sumatera Selatan.
Sesaat kemudian topik pembicaraanpun bergeser tentang sahabat lain yang juga dulu sering terlibat bersma-sama dalam kegiatan dusun. “Pak Jo gimana kabarnya?”, begitu kalimat singkat Mbak Win mengawalinya. Kebetulan Pak Jo ini juga salah seorang peserta kegiatan penguatan karakter tadi. Oleh karenanya saya pun menjawabnya dengan mengaitkan hal tersebut, “Nah pas di Jakarta itu juga bareng Pak Jo”, yang dibalas Mbak Win dengan kalimat sedikit bercanda, “Dah pada tua-tua ya”.
Pembicaraan pun terus mengalir berlanjut, sampai pada satu kalimat Mbak Win yang bagi saya sangat menyentuh. “Mbak Win lihat Yuli yang sekarang bangga banget. Padahal ketika itu ....?” Sengaja tidak dilanjutkan kalimatnya, karena sangat panjang ceritanya. Pikiran saya pun langsung melintas pada peristiwa 27 tahun yang lalu, yang oleh Mbak Win dikatakan “ketika itu ...”. Tidak ada kalimat yang saya sampaikan untuk membalasnya, kecuali icon orang menutup wajah sebagai tanda ada rasa malu mengingat perjalanan waktu itu. Seperti tahu isi pikiran saya, Beliau pun menyampaikan kalimat, “Alhamdulillaah. Allah sayang kamu. Masya Allah”. Tidak ada sepatah kata pun keluar saat membaca pesan ini. Astaghfirullahal ‘adziim ... begitu kecil diri ini dan sangat belum mampu sepenuhnya berbuat sesuatu sebagai rasa syukur atas nikmat-Nya seperti dalam kalimat tersebut. Terima kasih Ya Allah ... Engkau telah mempertemukan kembali saya dengan sosok yang begitu halus dan lembut nasihat-nasihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar