Hari berikutnya, tanggal 28 sekitar pukul 13.15 WIB saya menerima pesan whatsapp dari nomor yang tidak tercatat di daftar kontak. Isi pesannya cukup baik dan kekinian, berjudul “5 Tips dan Trik Agar Anak Tidak Mudah Bosan dengan Pembelajaran Daring”. Tanpa membaca isi pesan itu langsung saya telusuri identitas pengirim pesan tersebut, dan pada gambar profilnya tertulis “~Fake Wa”. Berdasarkan kejadian hari sebelumnya dan sedikit ingatan tentang kata “fake” yang mengandung arti “negatif”, tanpa pikir panjang langsung saya klik kata “block” yang tertera di bagian bawah pesan.
Sehari kemudian kembali saya menerima lagi pesan whatsapp dari akun yang juga tidak tercatat di daftar kontak saya. Kali ini isi pesannya tidak berjudul dan berisi ajakan untuk mencari penghasilan jutaan rupiah dalam waktu kurang dari 24 jam. Seperti respon terhadap pesan sebelumnya, segera saya telusuri identitas pengirim melalui profilnya. Tidak saya temukan gambar profil dan nama, kecuali identitas nama yang tertera sama dengan nomor pengirim. Beberapa saat kemudian pun saya klik kata “block” yang tertera di bagian bawah pesan, sama seperti yang saya lakukan terhadap pengirim pesan hari sebelumnya.
Tindakan blokir pada kasus di atas hampir sama latar belakangnya, yaitu sebagai tindakan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Pada kasus pertama, tindakan blokir lebih untuk mencegah terjadinya korban penipuan yang mengatasnamakan orang yang kita kenal. Adapun kasus kedua dan ketiga lebih cenderung sebagai upaya untuk menghindari hal-hal negatif yang mungkin akan terjadi terhadap diri kita dari orang-orang yang tidak kita kenal dan menyembunyikan identitasnya. Pada intinya, tindakan memblokir dalam kasus ini berarti sebuah tindakan menutup akses seseorang terhadap informasi yang kita miliki.
Dalam konteks yang lebih luas sebenarnya tindakan blokir ini tidak saja berkaitan dengan perangkat teknologi seperti pada kasus di atas. Saya dan mungkin juga Anda semua pasti sering melakukan tindakan tersebut dalam konteks yang lain. Tindakan kita di era adaptasi kebiasaan baru, seperti menggunakan masker, sering mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan masa pada hakikatnya merupakan sebuah tindakan pemblokiran. Dalam hal ini untuk memblokir, mencegah atau menghentikan penyebaran covid-19 yang dikenal sangat mudah penyebarannya.
Dalam konteks belajar menulis seperti yang sedang saya, dan mungkin juga Anda lakukan pun diperlukan tindakan-tindakan blokir ini. Tidak jarang pikiran tentang kesibukan kita menggoda untuk tidak melakukan sesuatu yang sudah kita tetapkan. “Saat ini kan masih sibuk, besok saja” begitu sering terlintas dalam pikiran kita. Hal inilah yang harus kita blokir, jangan sampai masuk dan singgah lama dalam pikiran kita.
Hal lain yang harus kita blokir dalam belajar menulis ini adalah sikap “tidak GOBLOK”. Seperti saya dan juga Anda dan kebanyakan orang yang sedang belajar hal ini, sering sekali muncul pikiran tidak percaya diri, takut jelek, takut dikritik, dan perasaan takut atau kawatir yang lainnya. Merujuk pendapat Syahrul dalam tulisannya “GOBLOK pun Bisa Menulis”, sikap-sikap seperti itulah yang dinamakan “tidak GOBLOK”. Jika hal tersebut dibiarkan, tentu sampai kapan pun kita tidak akan berani belajar menulis, dan dengan demikian kecil peluangnya untuk menjadi bisa menulis.
Masih sangat banyak kasus yang berkaitan dengan tindakan blokir ini dalam konteks yang lebih luas daripada beberapa contoh kasus blokir di awal tulisan ini. Tulisan ini saya buat pun dalam upaya melakukan tindakan pemblokiran terhadap pikiran-pikiran negatif yang menjadikan “tidak GOBLOK”, sehingga menjadi malas untuk terus belajar. Dalam konteks belajar yang lebih luas pun sering muncul sikap-sikap negatif yang menghambat diri sendiri untuk melakukan upaya-upaya tertentu dalam meraih tujuan. Dalam kondisi seperti ini, tindakan blokir harus kita lakukan untuk menghilangkan sikap-sikap negatif yang berpotensi menjadi penghambat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar