Oleh: Yuliyanto
(16 Mei 2020)
Tidak seperti hari-hari sebelumnya di bulan puasa tahun ini, hari ini saya begitu bersemangat pada saat berbuka. Yaa ... biasanya tiba saat berbuka saya cukup menengguk segelas teh manis dan makanan ringan yang ada lalu melanjutkannyaa dengan shalat maghrib dan duduk-duduk santai di teras depan rumah sambil menunggu waktu isya serta tarawih. Hari ini begitu tiba waktu berbuka, setelah menengguk teh manis untuk segera membatalkan puasa sebagai salah satu sunnah, langsung saya lanjutkan dengan makan. Beberapa saat kemudian baru melaksanakan shalat maghrib dan seperti biasa dilanjutkan duduk-duduk santai di teras depan rumah sambil menghilangkan rasa gerah yang seharian ini terasa berbeda dengan hari sebelumnya.
Ditemani segelas kopi saya mulai merenung mau menulis apa malam ini. Pikiran saya pun teringat beberapa hari sebelumnya saat saya merasa tidak ada ide untuk menulis. Seorang teman memberi masukan: “Iki apik nek ditulis” (ini bagus kalau ditulis), sambil menyodorkan sebuah tema. Teman lain juga ada yang memberikan masukan : “Iki wae apik” (ini saja bagus), juga sambil menyampaikan sebuah tema. Entah mengapa pikiran saya justru menjadi seperti terkekang oleh tema-tema yang mereka ajukan. Timbullah sebuah pemberontakan dalam pikiran saya. Saya ingin menulis secara bebas tanpa terkekang oleh apa pun dan siapa pun. Yang saya butuhkan saat ini bukan tulisan yang “apik” (bagus), tetapi yang penting sebuah tulisan, itu saja.
Masih dalam pikiran berontak, terdengarlah suara adzan dari masjid sebelah rumah, pertanda sudah masuk waktu shalat isya. Seperti saya mendidik diri untuk terus belajar menulis, saya segera bersiap diri untuk melaksanakan shalat isya dan tarawih. Hasrat untuk menulis sebagai tagihan diri sendiri pun masih saja terbawa saat menunaikan shalat tersebut. Hingga selesai shalat isya dan tarawih masih saja pikiran itu terngiang-ngiang. Tetapi seperti biasa saya pun tidak segera membuka laptop dan menulis. Saya masih punya janji untuk membiasakan diri “nderes” (membaca Al-Qur’an) juga dalam rangka mendidik diri untuk membaca. Tidak banyak, hanya beberapa lembar saja target saya, tetapi saya upayakan konsisten setiap malam sehabis shalat tarawih selama bulan puasa ini.
Begitu satu per satu semuanya selesai, baru saya mulai membuka laptop dengan niat menulis, memenuhi janji untuk mendidik diri, seperti saat saya menulis ini. Masih terngiang-ngiang masukan-masukan dari sahabat-sahabat tadi. Tetapi sekali lagi saya saat ini hanya ingin menulis bebas saja, bahkan tidak perlu “apik”. Saya pun sampai saat menulis ini tidak/belum tahu tulisan yang baik itu yang seperti apa? Jadi teringat masukan sahabat saya Edhie, yang semalam memberikan masukan “Bahasa lebih cair wae nek perlu campur bahasa daerah dan istilah keseharian biar ada roh-nya. Jadi tiap tulisan ada perkembangane ... nggak monoton”. Apa pun saya harus “matur nuwun” (terima kasih) kepada sahabat-sahabat saya yang telah memberikan masukannya.
Mungkin saat ini saya belum bisa memenuhi apa yang menjadi masukan-masukan itu. Tentu saja saya akan berusaha memenuhinya secara perlahan agar dari hari ke hari semakin berkembang dan kelak bisa menghasilkan tulisan yang “apik”. Tetapi untuk saat ini, setidaknya hingga saya membuat tulisan ini, saya masih ingin bebas menulis apa pun dan seberapa pun. Belum ada target untuk menghasilkan tulisan yang “apik”, karena dengan demikian pikiran saya justru berontak dan bisa mengakibatkan saya tidak “BODOH” lagi. Tidak ada target apa pun, kecuali membiasakan diri membuat tulisan agar bisa merasa ada sesuatu yang kurang jika tidak melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar