(13 Mei 2020)
Dia adalah salah satu teman dekat saya di masa SMA. Ya ... Edhie Prayitno Ige, demikian nama akun facebook-nya, seorang reporter Liputan 6 yang saat ini tinggal di Semarang. Saya katakan di atas tidak menyangka, karena itu tulisan pertama yang dipublikasikan secara umum sebagai salah satu tagihan mengikuti pelatihan menulis daring SPK. Saya menulisnya dengan spontan, mengalir, dan asal tulis saja untuk segera disetorkan kepada panitia sebagai salah satu amalan materi pelatihan kedua: “Menulis Dalam Kesibukan”. Ternyata membuat tertarik salah seorang teman yang sehari-hari menggeluti bidang tulis-menulis dengan memberikan komentar yang bahkan membuat saya menjadi lebih semangat untuk terus belajar di bidang ini.
Sumber: Dokumen pribadi |
Edhie, begitu dulu kita sering memanggilnya waktu SMA, memang sosok yang nyentrik dan sangat akrab. Kami sering bersatu dan berkomunikasi dalam beberapa organisani atau kegiatan sekolah. Di OSIS kami bersatu dalam kepenguruan periode 1988-1989. Di Pramuka kami juga disatukan dalam wadah Dewan Kerja Ambalan (DKA) pada periode yang sama. Dalam beberapa kegiatan di sekolah kami juga sering bersama, yang sangat berkesan adalah di kegiatan ekstrakurikuler kethoprak. Di luar kegiatan sekolah pun kami sangat akrab, bahkan kami sering “nginep” secara bergantian di rumah masing-masing.
Sudah hampir 30 tahun kami tidak saling ketemu dan komunikasi intensif sejak lulus SMA tahun 1990, kecuali dalam kegiatan sosial tertentu dan dalam acara reuni, yang kemungkinan besar tahun ini tidak akan terjadi di tengah masa pandemik covid-19. Namun demikian saya ampir selalu mengikuti dan membaca tulisan-tulisannya yang diposting melalui akun facebook-nya. Sederhana, mengalir, dan renyah tulisan-tulisannya bak makan tempe keripik (hehe ...). Hal yang lebih tidak saya sangka lagi adalah komentarnya yang mengatakan akan menerbitkan tulisan saya kalau sudah banyak. Walaupun masih sangat jauh kemungkinan itu, tetapi saya tetap menjadikan ini sebagai sebuah motivasi bagi saya dalam rangka terus berupaya menjadi “GOBLOK” dalam rangka mendidik diri untuk belajar menulis.
Hari berikutnya, saat saya memposting tulisan kedua berjudul: “Belajar Peduli Kepada Sesama” dia hadir lagi. Kali ini dengan komentar yang masih tetap memberikan motivasi untuk terus menulis: “Dikumpulke Mas, nek wis genep 100 kirim emailke, diterbitke” (Dikumpulkan Mas, kalau sudah genap 100 kirim ke emailku, diterbitkan). Terbayang dalam pikiran saya butuh waktu 100 hari jika sehari sebuah tulisan, lalu saya jawab: “Butuh 100 dina ki” (Perlu waktu 100 hari ini). Dia pun membalasnya dengan tidak kurang nuansa motivasinya: “100 dina ki enteng” (100 hari itu ringan). Sampai di sini pikiran saya tetap masih saya fokuskan untuk dapat konsisten dulu bisa menulis sehari satu tulisan.
Semalam sesaat saya memposting tulisan keempat dalam serial “Menjadi “GOBLOK” dalam Kesibukan”, dia pun kembali hadir melalui komentarnya. Tak kalah membakar komentarnya kali ini: “Ndang digawe serial goblok sedino papat, bar bodo tak terbitke” (Segera dibuat serial goblok sehari empat, habis lebaran saya terbitkan). Ingin rasanya sebenarnya mengikuti motivasi tersebut. Tetapi saya masih terus meyakinkan diri untuk bisa konsisten dulu menulis sehari satu tulisan, maka saya membalasnya: “Sedina siji wae ben ‘mateng’ alami” (Sehari satu saja biar prosesnya berjalan alami).
Keharidan Edhie, teman SMA melalui komentar-komentarnya yang membakar motivasi menjadi salah satu jawaban atas keraguan saya dalam belajar. Ya ... jawaban yang menguatkan atas hasil refleksi diri saya yang saya tuangkan dalam tulisan pertama (tidak dipublikasikan umum), sebagai tagihan tugas pelatihan menulis daring SPK. Saya beri judul “Mengikat Ilmu dan Pengalaman”, yang oleh Sang Master diberikan komentar: “Saya pribadi mendapati tulisan Pak Yuliyanto sudah enak mengalir dan tertata. Namun, sebagaimana yang Pak Yulianto akui, masih perlu teman pendamping yang membantu merealisasikan keinginan untuk menulis sesuatu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar