TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG KE "PRO EDUKASI"

24 Agustus 2020

SAMBATAN

Oleh: Yuliyanto
(12 Juli 2020)


Beberapa puluh tahun yang lalu kata ini sangat sering terdengar di telinga kita. Bahkan bagi yang sepantaran dengan saya waktu itu sering terlibat kegiatan tersebut dalam berbagai hal. Masih terekam dalam ingatan waktu kecil dulu ikut rame-rame bersama anak-anak dan orang-orang sedusun pergi ke sawah untuk membantu tetangga yang akan menanami sawanya. Sebelum berangkat menuju sawah semua berkumpul di rumah yang punya hajat untuk sekadar membasahi tenggorokan dengan segelas teh hangat dan sedikit makanan ringan.

Dengan peralatan sederhana seperti panci atau cidhuk kita pun berangkat beramai-ramai, bahkan sambil dengan memukuli peralatan yang dibawanya yang menghasilkan bunyi-bunyian walaupun terdengar tidak beraturan. Hanya dengan komando sederhana, semua segera mengambil perannya masing-masing. Yang membawa panci atau cidhuk segera melakukan penjeboran tanah pada lobang tanam yang sudah disiapkan sebelumnya. Yang lain bergerak mengikuti dari belakang menanamkan bibit yang akan ditanam.

Dalam waktu sekejap pekerjaan pun selesai. Semua segera membersihkan diri dengan air sawah atau kali yang berada di sekitarnya. Para pembawa panci atau cidhuk pun mulai memukilinya seperti pada saat berangkat sambil berjalan pulang kembali ke tempat yang punya hajat. Kali ini tidak sekadar minum dan makan makanan ringan yang telah disediakan, tetapi juga makan besar dengan sajian menu khas yang sederhana. Biasanya berupa megono, nasi yang dicampur dengan beberapa jenis sayuran, parutan kelapa, dan bumbu-bumbu lainnya. Semua asyik menikmatinya walau hanya dengan selembar daun pisang yang dipincuk dan dipuluk menggunakan tangan.

Demikian pola hidup tolong-menolong berdasarkan rasa saling membutuhkan di pedusunan kala itu. Dalam beberapa kegiatan hajatan secara bergantian warga saling memberi dan menerima bantuan tanpa upah atau bayaran. Semua dilakukan atas dasar rasa kebersamaan yang tinggi diantara anggota warga. Tidak memerlukan keahlian khusus dalam kegiatan seperti itu. Yang paling penting hanyalah kehadiran, keberadaan, dan partisipasi warga dalam kegiatan sesuai dengan hajat yang meminta bantuan.

Apakah sebenarnya makna kata sambatan itu? Koentjaraningrat (2000) seperti dikutip Sri Maryani memaknai kata sambatan kurang lebih sebagai kegiatan tolong menolong dengan meminta bantuan tenaga. Hal itu sejalan dengan asal katanya sambat yang berarti “meminta bantuan”. Pada awalnya, pengertian sambatan ini dikemukakan hanya terbatas pada kegiatan tolong-menolong di bidang pertanian. Dalam perkembangannya, seperti sering kita jumpai waktu itu dan mungkin sekarang (walaupun sudah sangat jarang), tidak lagi hanya di bidang tersebut, tetapi sudah mencakup bidang lain, seperti membongkar dan mengganti atap rumah dan lainnya. Bantuan yang diminta dalam sambatan hanya berupa tenaga, bukan keahliannya.

Sumber: Dokumen pribadi

Dalam kehidupan saat ini, yang oleh banyak orang disebut sebagai kehidupan abad 21, kata sambatan seperti sudah sangat jarang bahkan tidak ada lagi. Namun dalam beberapa literatur sebenarnya konten sambatan tersebut tetap ada hingga sekarang. Kecakapan abad 21 yang dikenal dengan four-C, salah satunya memuat konten sambatan, yaitu collaboration, yang dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk kerja sama. Bukankah di dalam sambatan ini terdapat berbagai bentuk kerjasama?

Permasalahannya mungkin bukan ada atau tidak berbagai bentuk kerjasama tersebut. Tetapi di era sekarang faktanya hal tersebut sangat jarang dijumpai, karena kecenderungan pola hidup modern yang lebih individualitis sebagai salah satu dampak kecanggihan teknologi. Oleh karenanya berbagai pihak kembali berupaya memunculkan dan menumbuhkannya melalui berbagai cara. Pun di dalam dunia pendidikan, diintegrasikanlah kemampuan abad 21: kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.

Seberapa baik keberhasilannya sangat bergantung pada tiga komponen dalam pendidikan yang dikenal dengan tri pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keterampilan bekerjasama harus ditumbuhkembangkan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan juga di masyarakat. Salah satu dari komponen tersebut tidak melakukannya dengan baik niscaya keterampilan tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Disamping keluarga dan sekolah, masyarakat pun mempunyai tanggungjawab yang sama menumbuhkembangkan hal tersebut. Bentuk-bentuk kerjasama seperti sambatan atau kerja bakti harus dimunculkan kembali sebagai salah satu cara memfasilitasi generasi sekarang mengimplementasikan yang diperoleh di keluarga dan sekolah.

Kerjabakti dan sambatan memang dua bentuk kegiatan sosial yang berbeda, namun keduanya merupakan media yang bagus untuk menumbuhkembangkan karakter kerjasama. Kerjabakti biasa dilakukan untuk kepentingan bersama (seperti membangun jalan dusun), sedangkan sambatan lebih kepada kepentingan individu/keluarga. Sambatan lebih didasarkan pada prinsip saling membutuhkan, sehingga hukuman sosial akan diterima seseorang apabila tidak bergantian memberikan bantuan yang sama kepada individu/keluarga lainnya.

Berdasarkan karakteristiknya sambatan merupakan bentuk kerjasama yang lebih mudah dan murah dilaksanakan. Mengapa demikian? Karena dalam sambatan tidak perlu keahlian khusus. Yang dibutuhkan atau diminta hanyalah bantuan tenaganya yang semua orang memilikinya, selama dalam kondisi sehat. Prinsip take and give lebih terasa nyata dalam sambatan. Oleh karenanya semangat sambatan inilah the pure collaboration yang perlu kita tumbuh kembangkan kembali di era abad 21 ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INFO REDAKSI

Mulai saat ini, serial tulisan "Menjadi 'GOBLOK' Dalam Kesibukan" tayang juga di blog ini. Semua tulisan dalam serial ini diambil dari tulisan yang sama di catatan dan dinding facebook saya. Silahkan beri penilaian: Bermanfaat, Menarik, atau Menantang di bawah artikel yang sesuai. Bagi pengguna facebook masih tetap bisa membacanya melalui link: https://www.facebook.com/mr.yulitenan