Pembahasan mengenai AKM pun mulai terjadi di mana-mana. Dalam suatu kesempatan pertemuan mempersiapkan kegiatan ujian nasional untuk terakhir kalinya tahun lalu, seorang nara sumber menyampaikan bahwa dengan AKM itu nanti hasilnya diprediksi akan juga minimalis. Pernyataan sang nara sumber dikuatkan dengan memaparkan beberapa contoh soal AKM di beberapa negara, dan sampai pada satu simpulan bahwa konsep AKM lebih mengukur kemampuan bernalar pada level kognitif C-4 (menganalisis), C-5 (mengevaluasi), dan C-6 (mencipta) atau yang lebih sering dikenal sebagai HOTS (Higher Order Thinking Skills), salah satu keterampilan abad 21 disamping 4K (kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif).
Konsep yang melatarbelakangi pelaksanaan AKM adalah capaian skor Indonesia di Programme for International Student Assessment (PISA), yang mengukur kemampuan literasi siswa di bidang membaca, matematika, dan sain. Data capaian skor tersebut, seperti dipaparkan oleh Moch. Abduh pada Webinar Lembaga Komite Sekolah Nasional menunjukkan bahwa skor rata-rata Indonesia di PISA 2018 untuk tiga bidang tersebut semua berada di bawah rata-rata skor negara-negara OECD. Dalam paparannya, lebih lanjut disampaikan titik-titik lemah kemampuan siswa Indonesia dalam literasi pada ketiga bidang tersebut.
Di bidang literasi membaca, titik lemah tersebut adalah tidak cermat membaca informasi yang ada pada footnote. Berpikir saintifik untuk memverifikasi semua informasi logis atau tidak berdasarkan bukti ilmiah, menjadi titik lemah siswa Indonesia di bidang literasi sain. Adapun titik lemah di bidang literasi matematika adalah kemampuan mengolah informasi (mencerna permasalahan, mengidentifikasi informasi, memilah dan menggunakan informasi). Berdasarkan data inilah konsep AKM dimunculkan sebagai salah satu jawaban yang diduga akan mampu mengatasi kelemahan tersebut.
Berdasarkan aspek yang diukur, AKM mengukur kemampuan bernalar tentang teks dan angka yang merupakan bagian dari keterampilan dasar literasi dan numerasi. Kata “minimum” dalam AKM memuat makna bahwa tidak semua konten dalam kurikulum diukur. Masih dalam paparannya, Moch. Abduh menyampaikan bahwa literasi membaca berkaitan erat dengan kemampuan memahami, mengevaluasi, dan merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah. Adapun literasi numerasi berkaitan erat dengan kemampuan menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari.
Kata kunci dalam AKM adalah mengukur kemampuan bernalar, yaitu kemampuan menggunakan nalar atau berpikir logis. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu simpulan yang berupa pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir (bukan perasaan). Oleh karenanya kegiatan ini memiliki karakteristik tertentu dalam menemukan sebuah kebenaran. Merujuk pendapat Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer” karakteristik penalaran adalah “adanya proses berpikir logis dan analitik”. Ini berarti hasil dari suatu penalaran merupakan sebuah kebenaran yang masuk akal melalui sebuah penyelidikan sebelumnya.
Dalam konteks AKM, kebenaran jawaban siswa sangat bergantung dengan kemampuan bernalarnya. Prediksi di atas yang mengatakan bahwa dengan AKM itu nanti hasilnya akan juga minimalis, memuat makna bahwa kemampuan bernalar siswa masih rendah (setidaknya hingga saat prediksi tersebut dilontarkan). Bagi kita yang kebetulan terlibat langsung dengan prediksi tersebut tidak perlu marah, tersinggung, dan sebagainya. Data hasil PISA cukup menjadi bukti mewakili munculnya prediksi tersebut. Menjadikan prediksi (yang bersifat belum pasti) menjadi sebuah tantangan yang harus dijawab akan lebih baik bagi kita semua.
Seperti kemampuan-kemampuan lainnya, bernalar termasuk kemampuan yang juga bisa dilatih. Jika belajar membaca dilakukan dengan membaca, belajar menulis dilakukan dengan cara menulis, maka belajar bernalar juga paling baik dilakukan dengan bernalar. Kemampuan bernalar dalam AKM tidak bisa disiapkan hanya dengan cara-cara seperti menyiapkan siswa menghadapi ujian nasional seperti sebelumnya. Proses pembelajaran harus memfasilitasi siswa untuk bernalar, meningkatkan keterampilan dasar literasi membaca dan numerasi. Jika hal ini dilakukan secara menyeluruh dan konsisten oleh semua komponen yang terlibat langsung, bukan hal yang mustahil hasil AKM akan meleset dari prediksi tadi. Dalam lingkup yang lebih luas, pada rentang waktu tertentu nanti bukan hal yang mustahil juga skor capaian Indonesia di PISA akan melampaui rata-rata skor negara-negara OECD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar