Memasuki hari kesepuluh bulan Ramadhan 1441 H beberapa hari yang lalu, sesaat setelah selesai melaksanakan ibadah shalat tarawih, di grup whatsapp RT tempat saya tinggal muncul pesan singkat “RT 1 siaga 1”. Beberapa saat kemudian bermunculan anggota grup yang lain menanggapi pesan tersebut, semua isinya hampir sama, yaitu menanyakan apa yang terjadi. Di saat masih rame pembahasan di grup, terdengar suara obrolan beberapa orang warga. Penasaran dengan apa yang terjadi di luar, saya pun memutuskan untuk keluar rumah mengampiri sekelompok warga tersebut.
Tidak banyak warga yang berkumpul di situ, sekitar 5 – 6 orang, ada yang dengan tangan kosong (tidak membawa apa-apa), ada yang membawa senter (alat penerangan), bahkan ada yang juga membawa parang seperti layaknya orang mau “perang”. Saya pun mulai membuka pertanyaan singkat “ada apa?”. Salah satu warga menjawabnya dengan singkat pula “pintu belakang rumah si fulan ‘didhodhog-dhodhog’ orang”. Seorang warga yang lain menyaut memberikan penjelasan lebih rinci tentang kejadian tersebut.
Rumah si fulan, yang terletak di ujung timur kampung saat ditinggal penghuninya untuk melaksanakan ibadah shalat isya’ dan tarawih di masjid, telah didhodhog-dhodhog oleh seseorang. Keterangan ini disampaikan oleh salah satu anggota keluarganya (perempuan) yang saat itu sedang tidak melaksanakan ibadah. Sebenarnya ada anggota keluarga lainnya yang juga di rumah, tetapi konon baru tidur karena pusing. Karena merasa takut lalu dia menelpon saudaranya yang beda rumah. Konon menurut ceritanya tanpa pikir panjang dia lalu meluncur ke rumah si fulan, dan disimpulkan tidak terjadi apa-apa.
Cerita itulah yang melatar belakangi munculnya pesan whatsapp di grup RT tadi, karena kebetulan pada ramdhan tahun lalu rumah si fulan itu menjadi sasaran pencurian pada saat ditinggal penghuninya melaksanakan ibadah tarawih di masjid dekat rumahnya. Keterangan tersebut belum membuat beberapa orang warga yang berkumpul tadi merasa puas. Ada salah satu warga yang berseloroh “nek dhodhog-dhodhog kui mestine tamu, dudu maling” (kalau mengetuk itu mestinya tamu, bukan pencuri). Salah satu warga yang lain menimpali “paling kui ngoglek-oglek lawang” (mungkin itu berusaha membuka pintu).
Dengan rasa masih penuh penasaran, akhirnya beberapa orang memutuskan untuk mendatangi rumah si fulan untuk memastikan yang terjadi. Hanya butuh beberapa saat, beberapa orang itu sudah kembali lagi di titik kumpul semula. Salah satu warga menyampaikan laporannya “ora ono tilas opo-opo” (tidak ada bekas apapun). Beberapa orang warga akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah atau melanjutkan aktivitasnya yang tadi tertunda oleh kejadian itu, kecuali beberapa orang warga dari RT tersebut masih tetap melanjutkan pembicaraannya.
Peristiwa tersebut merupakan salah satu yang cukup sensitif pada waktu belakangan ini. Bagaimana tidak? Beberapa waktu sebelumnya, karena kecanggihan alat komunikasi telah tersebar secara cepat berita-berita yang hampir sama, bahkan lebih dari seperti kejadian tadi, mulai dari berita tentang upaya pembegalan di suatu tempat, pelepasan sekelompok orang (dari luar daerah) di tempat-tempat tertentu yang oleh sebagian besar warga masyarakat diduga akan melakukan tindak kejahatan.
Fenomena tersebut membuat warga masyarakat di hampir semua tempat berupaya meningkatkan kemanan wilayahnya secara mandiri. Bermunculanlan inisiatif warga mendirikan pos-pos keamanan baru sebagai tempat berjaga-jaga. Bahkan di beberapa tempat, pos-pos tersebut dibuat oleh setiap RT. Info (tidak resmi) dari personil petugas keamanan, yang mengatakan “tidak ada apa-apa, berita-berita itu hanya untuk membuat resah warga”, hampir tidak digubris oleh sebagian besar warga masyarakat. Prinsip yang tetap dipegang oleh sebagian besar warga masyarakat, berjaga-jaga itu jauh lebih baik.
Pada saat saya menulis ini, lagi-lagi ada postingan melalui grup whatsaap RT mengajak untuk meningkatkan kewaspadaan, terkait dengan pesan suara yang barusaja diterima. Kejadiannya di dusun sebelah, tetapi lagi-lagi karena kecanggihan alat komunikasi menjadi cepat terakses oleh warga lainnya. Dalam pesan suara yang diteruskan itu, disebutkan pada saat waktu tarawih ada seseorang dengan kostum tertentu berkeliaran di sekitar daerah itu. Pada saat ditanya oleh petugas pos keamanan yang memergoki malah pergi tanpa memberikan jawaban.
Apapun latar belakang dan alasannya saat ini warga masyarakat sudah bertekad bulat untuk berjaga-jaga di masing-masing daerahnya. Hal ini untuk memastikan terciptanya keamanan di lingkungannya agar semua warga merasa lebih tenang. Tidak muluk-muluk yang dilakukan, sekadar berkumpul beberapa orang di posko yang telah dibuatnya, dengan jadwal yang sudah disepakati mulai pukul 21.00 dengan jadwal keliling sebanyak dua kali semalam pada pukul 00.00 dan 02.00.
Waktu-waktu menunggu jadwal keliling biasanya dimanfaatkan oleh beberapa orang yang piket untuk ngobrol, ngopi, mendengarkan lagu sambil bermain kartu (remi). Tentu saja itu dilakukan hanya dengan ketentuan bijen (dinilai) dan yang kalah ngasut (mengacak kartu). Yang sedikit berbeda di pos kali ini adalah disediakannya fasilitas cuci tangan, walaupun hanya sederhana dengan galon berkeran dilengkapi sebuah botol berisi cairan sabun. Hal lain yang juga berbeda adalah para petugas piket kali ini mengenakan masker (walaupun ada juga yang tidak mengenakan). Hal ini tentu saja terkait dengan protokol di masa tanggap darurat pencegahan penyebaran covid-19.
Meningkatkan kewaspadaan dengan berjaga-jaga di lingkungannya adalah wajib bagi semua warga masyarakat. Kecanggihan alat komunikasi harus dimanfaatkan secara bijaksana oleh semua warga masyarakat. Konfirmasi dan klarifikasi terhadap pesan atau berita yang diperoleh wajib dilakukan sebelum membagikannya kepada warga yang lain, agar tidak terjebak penyebaran berita hoax yang justru akan menimbulkan keresahan warga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar