Orang yang memiliki kenampuan membaca dan menulis ini, di beberapa rujukan biasa disebut literate. Sekali lagi kemampuan membaca di sini termasuk di dalamnya memahami isi bacaan. Dengan begitu orang yang literate akan mampu menuliskan kembali muatan dalam bacaan, dan mengembangkannya ke dalam tulisannya sendiri.
Membaca saja tanpa memahami dan mengimplementasikannya dalam perilaku, belumlah bisa disebut literate. Contoh sederhana, jika kita diminta menyebutkan nomor handphone lalu kita menyebutnya dengan mengatakan "kosong delapan satu ....", ini salah satu tanda kita belum melek matematika. Mengapa demikian?
Dalam sistem bilangan yang kita terima pada pelajaran matematika tidak ada angka atau bilangan "kosong", tetapi "nol". Dalam kasus penyebutan nomor handphone di atas, menunjukkan bahwa orang tersebut belum mengimplementasikan pengetahuannya dengan benar. Untuk bisa dikatakan literate, dalam melek matematika harusnya menyebutkannya dengan "nol delapan satu ..."
Contoh kasus sederhana lainnya, tidak sedikit orang mengatakan "lima puluh kilo" saat ditanya tentang berat badannya. Hal ini menunjukkan orang itu belum mengimplementasikan pengetahuannya tentang salah satu satuan berat. Jika diterjemahkan kalimat jawaban itu berarti "lima puluh ribu". Bukankah ini belum menjawab pertanyaan tentang berat badannya? Orang yang literate tentu akan menjawabnya "lima puluh kilo gram".
Kedua contoh di atas mungkin sangatlah sempit dan sederhana sebagai sampel tentang kemampuan literasi kita. Logika sehat kita akan mengatakan jika yang sederhana saja demikian adanya, bagaimana dengan yang tidak sederhana? Perlu sebuah kajian lebih mendalam dan luas. Tetapi Gerakan Literasi Nasional yang dicanangan pemerintah cukup menjadi pendukung kuat lainnya bahwa kita masih harus terus membudayakan kegiatan membaca dan menulis sebagai bagian dari literasi agar menjadi literate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar